Istilah “Islamisasi sains”
sudah pernah nyaring bergema di Indonesia pada era 1980-an. Tapi,
kemudian redup, sejalan dengan ketidakjelasan konsep dan
pengembangannya. Bahkan, sering timbul kesalahpahaman.
Apa sebenarnya “Islamisasi sains?”
Secara umum, ada lima arus utama wacana Islamisasi sains. Pertama, Islamisasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat (instrumen). Artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sifat dari sains itu sendiri selama ia bermanfaat bagi pemakainya.
Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa Barat maju dan berhasil menguasai dunia Islam dengan kekuatan sains dan teknologinya. Karena itu, untuk mengimbangi Barat, kaum Muslim harus juga menguasai sains dan teknologi. Jadi, Islamisasi di sini adalah bagaimana umat Islam menguasai kemajuan yang telah dikuasai Barat.
Islamisasi sains dengan pendekatan ini sebenarnya tidak termasuk dalam islamisasi sains yang hakiki. Banyak muslim yang ahli sains, bahkan meraih penghargaan dunia, namun tidak jarang
dia makin jauh dari Islam. Meski demikian, pendekatan ini menyadarkan
umat untuk bangkit melawan ketertinggalan dan mengambil langkah
mengembangkan sains dan teknologi.
Kedua, Islamisasi sains yang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kebanyakan kalangan awam adalah konsep justifikasi. Maksud
justifikasi adalah penemuan ilmiah modern, terutama di bidang ilmu-ilmu
alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat Al-Quran maupun
Al-Hadits. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran al-Qur’an
dengan fakta-fakta objektif dalam sains modern.
Tokoh
paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille. Menurut dokter
asal Perancis ini, penemuan sains modern sesuai dengan al-Qur’an. Hal
ini membuktikan bahwa Al-Qur’an, kitab yang tertulis 14 abad yang lalu,
adalah wahyu Tuhan, bukan karangan Muhammad. Ilmuwan lain yang mengembangkan Islamisasi dengan pendekatan justifikasi ini adalah Harun Yahya, Zaghlul An-Najjar, Afzalur Rahman dll. Namun,
konsep ini menuai banyak kritik, misalnya dari Ziauddin Sardar yang
mengatakan bahwa legitimasi kepada al-Quran dalam kerangka sains modern
tidak diperlukan oleh Kitab suci.
Meskipun bukan termasuk dalam kategori Islamisasi sains yang hakiki, pendekatan konsep ini sangat efektif mudah diterima oleh banyak Muslim serta meningkatkan kebanggaan mereka terhadap Islam. Namun
demikian proses tersebut tidak cukup dan harus dikembangkan ke dalam
konsep yang lebih mendasar dan menyentuh akar masalah kemunduran umat.
Ketiga, konsep Islamisasi sains berikutnya menggunakan pendekatan sakralisasi.
Ide ini dikembangkan pertama kali oleh Seyyed Hossein Nasr. Baginya,
sains modern yang sekarang ini bersifat sekular dan jauh dari
nilai-nilai spiritualitas sehingga perlu dilakukan sakralisasi. Nasr
mengritik sains modern yang menghapus jejak Tuhan di dalam keteraturan
alam. Alam bukan lagi dianggap sebagai ayat-ayat Alah tetapi entitas
yang berdiri sendiri. Ia bagaikan mesin jam yang bekerja sendiri.
Ide
sakralisasi sains mempunyai persamaan dengan proses islamisasi sains
yang lain dalam hal mengkritisi sains sekular modern. Namun perbedaannya
cukup menyolok karena menurut Nasr, sains sakral (sacred science)
dibangun di atas konsep semua agama sama pada level esoteris (batin).
Padahal Islamisasi sains seharusnya dibangun di atas kebenaran Islam.
Sains sakral menafikan keunikan Islam karena menurutnya keunikan adalah
milik semua agama. Sedangkan islamisasi sains menegaskan keunikan ajaran
Islam sebagai agama yang benar. Oleh
karena itu, sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep Islamisasi jika
nilai dan unsur kesakralan yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai
Islam.
Keempat, Islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu mengintegrasikan sains Barat dengan ilmu-ilmu Islam. Ide ini dikemukakan oleh Ismail Al-Faruqi. Menurutnya, akar
dari kemunduran umat Islam di berbagai dimensi karena dualisme sistem
pendidikan. Di satu sisi, sistem pendidikan Islam mengalami penyempitan
makna dalam berbagai dimensi, sedangkan di sisi yang lain, pendidikan
sekular sangat mewarnai pemikiran kaum Muslimin. Mengatasi dualisme
sistem pendidikan ini merupakan tugas terbesar kaum Muslimin pada abad
ke-15 H.
Al-Faruqi
menyimpulkan solusi dualisme dalam pendidikan dengan islamisasi ilmu
sains. Sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme sistem pendidikan
harus dihapuskan dan disatukan dengan jiwa Islam dan berfungsi sebagai
bagian yang integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian Islamisasi
sains sebagai usaha yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data,
memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data,
mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali
tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu
memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita Islam.
Kelima, konsep Islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah Islamisasi yang berlandaskan paradigma Islam. Ide ini yang disampaikan pertama kali secara sistematis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Menurut al-Attas, tantangan
terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang
tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan
filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia
Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber
kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.
Itu
sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia
dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang
bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap
pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya
yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau
jiwanya...Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya...” (Islam dan Sekularisme, 2010).
Oleh karena dalam hal ini ada dua cara metode Islamisasi yang saling berhubungan dan sesuai urutan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Dengan
demikian Islamisasi sains akan membuat umat Islam terbebaskan dari
belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah
wujudnya keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya (fitrah).
Islamisasi melindungi umat Islam dari sains yang menimbulkan kekeliruan
dan mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya. Oleh
karena itu islamisasi sains tidak bisa tercapai hanya dengan menempeli
(melabelisasi) sains dengan prinsip Islam. Hal ini hanya akan
memperburuk keadaan selama "virus"nya masih berada dalam tubuh sains itu
sendiri.
Jadi, Islamisasi sains
tidak sesederhana, misalnya, tidak sekedar menyalakan lampu dengan
terlebih dahulu membaca basmalah. Islamisasi sains adalah sebuah konsep
dasar yang berkaitan dengan worldview seorang muslim untuk mengembalikan Islam menuju peradaban dunia yang berjaya. (***)
Penulis:
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)