Pemikiran Sjafruddin Prawiranegara tentang Ekonomi Islam, Riba dan Zakat
Sabtu (15/10) besok bertempat di Kementerian Keuangan RI, Gedung A.A.
Maramis akan diadakan peluncuran dan diskusi buku “Mr.Sjafruddin
Prawiranegara Pemimpin Bangsa Dalam Pusaran Sejarah”. Acara
diselenggarakan oleh Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang
diketuai oleh Dr (HC) A.M. Fatwa.
Seluruh agenda dan mata-acara Peringatan “Satu Abad Mr. Sjafruddin
Prawiranegara” yang diadakan dalam tahun 2011 ini, menghadirkan nuansa
refleksi sejarah dan kegiatan ilmiah dalam rangka menggali keteladanan
dan kontekstualisasi pemikiran serta perjuangan almarhum Pak Sjaf di
tengah situasi kehidupan bangsa dewasa ini.
Pejuang yang memiliki darah keturunan Minangkabau itu dilahirkan
tanggal 28 Februari 1911 di Banten dan wafat 15 Februari 1989 di
Jakarta. Dalam biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada
Allah SWT ditulis oleh budayawan Ajib Rosidi terekam tonggak-tonggak
penting perjalanan hidup Pak Sjaf yang dikenang sebagai sosok yang
bersih, lurus dan konsisten memegang teguh prinsip-prinsip perjuangan.
Gelar “Meester in de Rechten” disingkat Mr diraihnya setelah menempuh
pendidikan pada RHS (Rechts Hoge School, Sekolah Tinggi Hukum) di
Jakarta.
Sjafruddin Prawiranegara, salah satu tokoh penting dalam pusaran
sejarah perjuangan pasca-kemerdekaan RI yang pantas dikenang dan
dihargai jasa-jasanya. Beliau pernah menduduki jabatan sebagai Gubernur
Bank Indonesia (BI) yang pertama, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan,
dan Menteri Kemakmuran.
Peran dan jasa Sjafruddin terpahat abadi dalam sejarah perjuangan
bangsa. Peran yang sangat monumental dan menentukan kelangsungan hidup
negara kesatuan Republik Indonesia adalah ketika Sjafruddin
Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
pada 19 Desember 1948 di Halaban, Payakumbuh, Sumatera Barat. PDRI
dibentuk untuk menyelamatkan negara yang sedang berada dalam bahaya
akibat agresi militer Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Disamping peran sebagai pejuang kemerdekaan dan menata pemerintahan
negara sesuai tugas yang diembannya, pada hemat penulis, Sjafruddin
Prawiranegara adalah tokoh pemikir yang telah membuka wawasan ekonomi
Islam di tanah air, jauh sebelum lahir dan berkembangnya lembaga
keuangan syariah. Semasa hidupnya beliau banyak menulis ulasan tentang
ekonomi dan moneter semenjak Indonesia merdeka, masa peralihan, hingga
masa pembangunan Orde Baru dengan tinjauan-tinjauan yang berani dan
kritis demi untuk kebaikan bangsa dan negara. Tulisan-tulisan beliau
dipublikasikan dalam bentuk buku, brosur dan artikel di majalah Panji
Masyarakat, Kiblat, Suara Masjid dan lain-lain.
Islam bagi beliau bukan semata-mata agama dalam arti yang sempit
melainkan sebuah “way of life” dan pedoman hidup yang universal.
Kebenaran Islam dapat dilihat dan dibuktikan dengan tinjauan kacamata
modern. Dalam buku Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (1988),
Sjafruddin mengupas salah satu sebab timbulnya kekacauan sosial dan
jurang pemisah yang semakin lebar antara mereka yang kaya dan miskin di
dunia ini, adalah karena agama dipisahkan dari ekonomi. Padahal, ekonomi
tidak boleh dijauhkan dari ajaran-ajaran agama. Islam mengajarkan,
dalam usaha kita mencari nafkah untuk keperluan hidup, kita sekali-kali
tidak boleh melupakan kewajiban terhadap sesama manusia, khususnya
terhadap orang-orang yang miskin dan lemah.
Diungkapkannya, dalam Islam pasar dan perdagangan harus bebas dari
unsur kecurangan, spekulasi, monopoli dan keuntungan yang melampaui
batas. Dalam tulisan “Motif Ekonomi atau Prinsip Ekonomi Diukur Menurut
Hukum-Hukum Islam”, Sjafruddin menjelaskan, bahwa di dalam suatu
masyarakat, dimana Islam merupakan kekuatan yang hidup dan nyata, motif
ekonomi tidak lagi merupakan hukum fundamental dalam usaha manusia.
Bahkan sebaliknya, pertimbangan-pertimbangan agama, yang menurut ilmu
ekonomi merupakan faktor yang kadang-kadang mempengaruhi motif ekonomi,
lebih diutamakan daripada motif ekonomi itu sendiri.
Manusia yang harus didahulukan, bukan kapital, demikian ditegaskan
oleh Sjafruddin pada tahun 1966 dalam tulisannya yang berjudul
“Membangun Kembali Ekonomi Indonesia”. Beliau mengingatkan pemerintah
waktu itu, jangan terlalu terpukau oleh peranan dan kontribusi modal
asing dalam pembangunan, yang sampai mengakibatkan pemerintah kurang
melindungi modal dan tenaga “manusia Indonesia” yang benar-benar turut
berpartisipasi dalam usaha pembangunan bangsanya. Mengutamakan modal
sudah terang berlawanan dengan Pancasila, yang mengutamakan manusia
tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materiilnya, ujarnya.
Menurut Sjafruddin, pembangunan akhlak harus mendahului pembangunan
ekonomi. Sebab, kalau pembangunan ekonomi tidak didahului,
sekurang-kurangnya tidak disertai pembangunan akhlak, maka pembangunan
ekonomi itu akan merangsang manusia yang diberi tugas merencanakan dan
melaksanakan pembangunan itu untuk melakukan korupsi, yaitu
menyalahgunakan kedudukan kekuasaannya untuk memperkaya diri.
Sjafruddin yang mengungkap kesalahan sistem ekonomi sosialis
(Marxis), di sisi lain juga menyoroti keburukan sistem ekonomi liberal
yang menurutnya bertentangan dengan fitrah manusia. Sebab, manusia yang
diberi kebebasan terlalu besar, akan menyalahgunakan kebebasannya itu.
Yang kuat dan pintar itu akan memeras yang miskin dan lemah. Di samping
kemakmuran yang tinggi pada golongan yang kecil, terdapat kemiskinan
pada golongan yang besar.
Menarik disimak, pandangan Sjafruddin mengenai riba berbeda
dengan kebanyakan cendekiawan muslim yang hanya mengindentikkan riba
identik dengan interest atau bunga bank. Setelah mengemukakan
alasan-alasan pokok yang didasarkan kepada ayat-ayat Al Quran dan Hadis,
Sjafruddin sampai kepada kesimpulan pendapat bahwa riba adalah
keuntungan berupa uang, barang atau jasa yang diperoleh dengan cara-cara
yang melanggar perikemanusiaan. Menurutnya, kalau kita berdagang
semata-mata didorong oleh nafsu untuk memperoleh keuntungan, maka
keuntungannya adalah termasuk riba. Tafsir yang salah mengenai riba,
niscaya akan mengaburkan pandangan dan pengertian kita tentang tujuan
Islam yang sebenarnya, ujarnya.
Dalam kaitan pembahasan mengenai bahaya riba, tokoh
Masyumi itu menjelaskan, bahwa yang diharamkan Allah SWT bukanlah
memperalat dan memeras uang, sebab uang tidak dapat diperas. Tetapi yang
dilarang Allah adalah memperalat dan memeras sesama manusia, baik
dengan mempergunakan uang maupun barang-barang atau jasa-jasa lainnya
sebagai alat pemeras. Riba dapat dicegah, kalau manusia itu tujuan
hidupnya adalah mengabdi kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap
sesama makhluk Allah sebagaimana diajarkan-Nya dalam Al-Quran dan
dijelaskan dalam Hadis Nabi SAW, ungkapnya.
Sjafruddin berpendapat, hanya masyarakat yang berdasarkan hukum yang
bisa makmur. Jika hukum dan keadilan lenyap, kemakmuran akan lenyap
pula. Dalam Khutbah Idul Fitri tahun 1979 di Jakarta, Sjafruddin
mengutarakan keprihatinannya melihat timbulnya gejala di tengah
masyarakat Indonesia dimana “Pancasila” ditukar dengan “Panca-gila”,
dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan “Keuangan
yang maha kuasa”, dan sila-sila lainnya mengikuti perubahan itu. Jadi,
bukan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi pemimpin hidup, tetapi
yang dijadikan pedoman hidup adalah “uang” yang dianggap di atas
segalanya, kata beliau.
Dalam risalah Aspirasi Islam dan Penyalurannya (1987), Sjafruddin
menulis, menurut ajaran Islam, ekonomi tidak boleh disusun secara
sosialistis, menurut wawasan-wawasan Marxisme, tetapi juga tidak boleh
secara kapitalistis yang mengizinkan seseorang mencari dan memupuk
kekayaan tanpa batas. Ekonomi menurut ajaran-ajaran Islam harus disusun
menurut suatu jalan tengah antara sosialisme dan kapitalisme. Hak milik
perseorangan itu diakui Islam, tetapi dengan ketentuan bahwa pada
kekayaan itu ada hak orang miskin.
Pandangan Sjafruddin Prawiranegara tentang zakat layak untuk dikaji
lebih dalam. Sebagaimana gagasan yang tercetus di kalangan para pemimpin
Islam sejak 1950-an, Sjafruddin berpendapat perlunya zakat diatur
dengan undang-undang. Tujuan zakat adalah supaya perbedaan material
antara orang kaya dan orang miskin jangan terlalu menyolok. Negara dan
masyarakat wajib mengusahakan, jangan sampai ada orang miskin jadi mati
kelaparan atau mati karena tidak bisa pergi ke dokter atau membeli obat
karena tidak punya uang. Pendek kata, zakat maal adalah pajak yang harus
dibayar oleh orang yang mampu, menurut kemampuannya dan menurut
keperluan masyarakat guna menghilangkan/mengurangi kemiskinan, tegasnya.
Sewaktu Sjafruddin Prawiranegara berpulang ke rahmatullah pada tahun
1989, selesai shalat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru
Jakarta, menjelang diberangkatkan ke TPU Tanah Kusir, Mohammad Natsir
atas nama sahabat seperjuangan memberi sambutan perpisahan, antara lain
mengatakan, “Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan almarhum
Sjafruddin Prawiranegara, selain kata: Istiqamah!”.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya. Dalam kaitan ini, allahu yarham Mr. Sjafruddin
Prawiranegara kita kenang sebagai pahlawan dalam pemikiran dan tindakan
perjuangannya yang ikhlas dan tanpa pamrih untuk nusa, bangsa dan agama.
Wallahu a’lam bisshawab.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan M. Fuad Nasar, M.Sc, Jumat, 14 Oktober 2011,
http://www.pelitaonline.com/read-cetak/4150/mr-sjafruddin-prawiranegara-dan-pemikirannya-tentang-ekonomi-islam-riba-dan-zakat/)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)