Hadits Shahih
Secara
bahasa, shahih berarti lawan sakit (dhiddus saqiim). Kata shahih juga
telah menjadi kosakata bahasa Indonesia berarti sah, benar, sempurna, sehat,
dan pasti.
Definisi secara eksplisit pengertian
hadits shahih belum dinyatakan ulama hadits dari kalangan mutaqaddimin
(sampai abad III H). Mereka hanya menyatakan bahwa tidak diterima periwayatan
suatu hadits kecuali berasal dari orang-orang tsiqah, bersumber dari
orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hadits, dusta, mengikuti hawa
nafsu, orang-orang yang ditolak kesaksiannya.
Imam Syafi’i memberi ketentuan yang agak
jelas tentang suatu riwayat hadits dapat dijadikan hujjah:
1. Diriwayatkan perawi yang dapat
dipercaya pengamalan agamanya, dikenal jujur dan memahami dengan baik hadits yang
diriwayatkan, meriwayatkan hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya.
2. Riwayatnya sambung atau tidak
sambung kepada Nabi.
Sementara kriteria hadits shahih menurut
Bukhari dan Muslim:
1. Rangkaian perawi dalam sanad
harus bersambung mulai perawi pertama sampai terakhir. Menurut Bukhari harus
ketemu walaupun sekali. Sementara Muslim berpendapat tidak harus ketemu, namun
cukup sezaman sudah masuk kategori sambung.
2. Perawi harus terdiri dari
orang-orang yang tsiqah, dalam arti adil dan dhabit.
3. Haditsnya terhindar dari illat
(cacat), syazd (janggal).
4. Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sezaman.
Sedangkan pengertian hadits shahih
menjadi jelas setelah didefinisikan ulama mutaakhirin, yaitu hadits yang
sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan olah perawi yang adil
dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan (syazd), dan
tidak ber’illat.
1.
Sanadnya bersambung
Maksudnya: tiap-tiap perawi dalam sanad hadits
menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Dikatakan shahih kalau
rangkaian perawi terakhir sampai kepada sahabat menerima hadits dari Nabi.
2.
Perawinya adil
Adil secara bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah,
tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur. Orang dikatakan adil apabila
ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu
senantiasa melaksanakan perintah, meninggalkan larangan, terjaganya muru’ah
(berakhlak baik dalam perilaku). Dengan demikian, perawi yang adil,
disamping harus Islam dan baligh, juga memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan larangan.
b.
Menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil.
c.
Memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.
Sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud dapat
diketahui melalui:
a. popularitas keutamaan pribadi
perawi dikalangan ulama hadits.
b. Penilaian dari para kritikus perawi
hadits tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi.
c. Penerapan kaidah jarh wa
ta’dil.
Khusus
perawi dikalangan sahabat menurut kesepakatan ulama hadits semuanya tergolong adil.
3.
Perawinya dhabit
Secara bahasa dhabit artinya kokoh, kuat,
hafalannya sempurna. Seorang dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai
daya ingat dengan sempurna terhadap hadits yang diriwayatkan. Menurut Ibnu
Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya
terhadap yang pernah ia dengar kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
manakala dibutuhkan.
Dhabit dibagi dua: dhabit fi sadr
(terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima sampai
meriwayatkan ke orang lain), dan dhabit fi al-kitab (kebenaran
suatu riwayat melalui tulisan).
Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi
menurut ulama dapat diketahui melalui:
a. kesaksian para ulama
b. berdasarkan kesesuaian riwayatnya
dengan riwayat orang lain yang telah terkenal kedhabitannya.
4.
tidak syazd (janggal)
yang dimaksud syazd adalah suatu
hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang
lebih kuat atau tsiqah.
5.
tidak berillat
Illat berarti suatu sebab yang tersembunyi
atau samar-samar yang dapat merusak keshahihan hadits (baik pada matan atau
sanad). Dengan demikian, hadits yang tidak berillat adalah hadits yang
didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.
Ulama hadits membagi hadits shahih
menjadi dua:
1.
shahih lizatih
yaitu hadits shahih yang memenuhi persyaratan maqbul secara sempurna.
2.
shahih lighairih yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan shahih,
khususnya berkaitan dengan hafalan perawi. Hadits ini asalnya bukan shahih, namun
ada pendukung yang dapat menutupi kekuarangannya maka derajatnya naik menjadi shahih
lighairih.
Tingkatan
hadits shahih tergantung pada kedhabitan dan keadilan para perawinya. Menurut
ulama hadits, tingkatan hadits shahih ada tujuh secara berurutan sebagai
berikut:
1.
Hadits yang disepakati Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih).
2.
Hadits yang ditakhrij Imam Bukhari sendiri.
3.
Hadits yang ditakhrij Imam Muslim sendiri.
4.
Hadits yang ditakhrij atas dasar syarat-syarat Bukhari Muslim akan
tetapi keduanya tidak mentakhrijnya.
5.
Hadits yang ditakhrij atas dasar syarat Bukhari akan tetapi Bukhari
tidak mentakhrijnya.
6.
Hadits yang ditakhrij atas dasar syarat Imam Muslim akan tetapi Imam
Muslim tidak mentakhrijnya.
7.
Hadits yang dishahihkan oleh para Imam hadits selain Bukhari Muslim
dengan tanpa berpegang kepada syarat-syarat keduanya.
(Tulisan ini disampaikan dalam perkuliahan Ulumul Hadis oleh dosen FAI-UMS. bapak Nurul Huda)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)