SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS
Hadits Pada Masa Rasulullah saw.
1.Cara Rasul saw Menyampaikan Hadits: (a) melalui para jamaah yang menjadi pusat pembinaannya yang disebut majlis ilmi.(b) Rasul saw menyampaikan hadits kepada para sahabat tertentu. (c) melalui ceramah secara terbuka seperti ketika haji wada’ dan fathu Makkah.
2.Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadits, disebabkan: (a) perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah saw. (b) perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bersama Rasulullah. (c) perbedaan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain. (d) perbedaan waktu Islam dan jarak tempat tinggal dengan majlis Rasulullah saw.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadits dari Rasul, di antaranya:
-Para sahabat yang tergolong as-sabiqunal awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud
-Isteri-isteri Rasulullah saw, di antaranya: Aisyah dan Ummu Salamah.
-Sahabat yang dekat dengan Rasul dan mencatat hadits yang diterima, Abdullah bin Amr bin al-Ash.
-Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah saw, namun sering bertanya kepada sahabat lain, Abu Hurairah.
-Sahabat yang aktif mengikuti majlis Rasulullah saw, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas.
3.Menghafal dan menulis hadits. Untuk menjaga kemurnian hadits Rasullullah saw menyuruh menghafal dan melarang menulisnya. Namun ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadits, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash (catatannya diberi nama as-sahifah as-sadiqah), Jabir bin Abdillah bin Amr al-Ansari (catatannya dikenal dengan sahifah jabir), Abu Hurairah ad-Dausi (catatannya dikenal as-sahifah as-sahihah), Umar bin Sa’ad al-Anmari.
Sikap para ulama terhadap adanya hadits yang melarang menulis dan yang membolehkan menulis hadits: (a) larangan menulis hadits terjadi pada saat awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits tidak bercampur dengan al-Qur’an. (b) larangan menulis hadits bersifat umum, sedang perizinan menulis hadits bersifat khusus hanya kepada orang-orang mempunyai keahlian tulis-menulis. (c) larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat hafalannya dari pada menulisnya.Faktor-faktor yang mendukung penyebaran hadits pada masa Nabi saw:
1.Kegigihan Rasul saw dalam menyampaikan dakwah dan menyebarkan Islam.
2.Karakter dan norma-norma Islam yang baru, menjadikan Rasul saw sebagai sasaran bertanya tentang hukum-hukumnya.
3.Kemauan keras para sahabat dalam menuntut, menghafal, dan menyampaikan ilmu.
4.Peranan para isteri-isteri Nabi saw dalam menyampaikan agama dan menyebarkan hadits dikalangan kaum perempuan muslimah.
5.Kalangan perempuan muslimah juga memiliki peran menyebarkan dan memelihara hadits.
6.Para pengikut Rasul saw, setelah hijrah menjadikan Madinah sebagai pusat perkembangan Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke daerah sekitarnya.
7.Pada waktu fathu Makkah 8 H, beliau berceramah di antara ribuan jamaah muslim dan musyrikin.
1.Cara Rasul saw Menyampaikan Hadits: (a) melalui para jamaah yang menjadi pusat pembinaannya yang disebut majlis ilmi.(b) Rasul saw menyampaikan hadits kepada para sahabat tertentu. (c) melalui ceramah secara terbuka seperti ketika haji wada’ dan fathu Makkah.
2.Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadits, disebabkan: (a) perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah saw. (b) perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bersama Rasulullah. (c) perbedaan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain. (d) perbedaan waktu Islam dan jarak tempat tinggal dengan majlis Rasulullah saw.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadits dari Rasul, di antaranya:
-Para sahabat yang tergolong as-sabiqunal awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud
-Isteri-isteri Rasulullah saw, di antaranya: Aisyah dan Ummu Salamah.
-Sahabat yang dekat dengan Rasul dan mencatat hadits yang diterima, Abdullah bin Amr bin al-Ash.
-Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah saw, namun sering bertanya kepada sahabat lain, Abu Hurairah.
-Sahabat yang aktif mengikuti majlis Rasulullah saw, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas.
3.Menghafal dan menulis hadits. Untuk menjaga kemurnian hadits Rasullullah saw menyuruh menghafal dan melarang menulisnya. Namun ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadits, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash (catatannya diberi nama as-sahifah as-sadiqah), Jabir bin Abdillah bin Amr al-Ansari (catatannya dikenal dengan sahifah jabir), Abu Hurairah ad-Dausi (catatannya dikenal as-sahifah as-sahihah), Umar bin Sa’ad al-Anmari.
Sikap para ulama terhadap adanya hadits yang melarang menulis dan yang membolehkan menulis hadits: (a) larangan menulis hadits terjadi pada saat awal-awal Islam untuk memelihara agar hadits tidak bercampur dengan al-Qur’an. (b) larangan menulis hadits bersifat umum, sedang perizinan menulis hadits bersifat khusus hanya kepada orang-orang mempunyai keahlian tulis-menulis. (c) larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat hafalannya dari pada menulisnya.Faktor-faktor yang mendukung penyebaran hadits pada masa Nabi saw:
1.Kegigihan Rasul saw dalam menyampaikan dakwah dan menyebarkan Islam.
2.Karakter dan norma-norma Islam yang baru, menjadikan Rasul saw sebagai sasaran bertanya tentang hukum-hukumnya.
3.Kemauan keras para sahabat dalam menuntut, menghafal, dan menyampaikan ilmu.
4.Peranan para isteri-isteri Nabi saw dalam menyampaikan agama dan menyebarkan hadits dikalangan kaum perempuan muslimah.
5.Kalangan perempuan muslimah juga memiliki peran menyebarkan dan memelihara hadits.
6.Para pengikut Rasul saw, setelah hijrah menjadikan Madinah sebagai pusat perkembangan Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke daerah sekitarnya.
7.Pada waktu fathu Makkah 8 H, beliau berceramah di antara ribuan jamaah muslim dan musyrikin.
8.Pidato Nabi saw pada saat haji wada’ 10 H dihadapan ribuan kaum muslimin.
9.Setelah peristiwa fathu Makkah dan haji wada’, berdatanganlah delegasi Arab dari segala penjuru Arabia untuk bergabung dan masuk Islam. Mereka banyak belajar dan mendalami Islam.
Pada Masa Sahabat (masa khulafaur rasyidin 11-40 H).
1. Menjaga pesan Rasulullah saw untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dan Ballighu ‘anni walau ayatan.
2. Berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
Pada masa ini perhatian sahabat terfokus untuk memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan sahabat disebabkan mereka khawatir terjadi kekeliruan, dengan berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti al-Qur’an.
3. Periwayatan hadits dengan lafazd dan makna.
Kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadits, bukan berarti hadits Rasul saw tidak diriwayatkan. Ada dua jalur cara meriwayatkan hadits:
· Periwayatan lafzdi, yaitu periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw.
· Periwayatan maknawi, yaitu periwayatan hadits yang redaksinya tidak sama persis dengan yang diwurudkan Rasul saw, akan tetapi isi dan maknanya terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw tanpa ada perubahan sedikitpun.
Pada Masa Tabi’in
Periwayatan hadits pada masa tabi’in tidak begitu berbeda dengan masa sahabat. Hanya saja mereka mempelajari hadits dari sahabat yang telah menyebarkan hadits ke berbagai wilayah kekuasaan Islam, meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika selatan, Samarkand, dan Spanyol, di samping Madinah, Makkah, Basrah, Kufah, dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perkembangan kekuasaan Islam, pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadits.
Para tabi’in menerima hadits sangat hati-hati dan selektif. Hal ini disebabkan dampak pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, misalnya terjadinya perang siffin dan jamal pada masa Ali bin Abi Thalib yang memecah umat Islam menjadi beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Muawiyah dan golongan yang tidak termasuk ketiganya), ternyata berpengaruh negatif terhadap beredarnya hadits-hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan lawan lawannya.
Sedangkan pengaruh positifnya adalah munculnya rencana untuk diadakan kodifikasi atau tadwin hadits sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
Pada Masa Sahabat (masa khulafaur rasyidin 11-40 H).
1. Menjaga pesan Rasulullah saw untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dan Ballighu ‘anni walau ayatan.
2. Berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
Pada masa ini perhatian sahabat terfokus untuk memelihara dan menyebarkan al-Qur’an. Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan sahabat disebabkan mereka khawatir terjadi kekeliruan, dengan berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.
Pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadits dalam suatu kitab, seperti al-Qur’an.
3. Periwayatan hadits dengan lafazd dan makna.
Kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadits, bukan berarti hadits Rasul saw tidak diriwayatkan. Ada dua jalur cara meriwayatkan hadits:
· Periwayatan lafzdi, yaitu periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw.
· Periwayatan maknawi, yaitu periwayatan hadits yang redaksinya tidak sama persis dengan yang diwurudkan Rasul saw, akan tetapi isi dan maknanya terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw tanpa ada perubahan sedikitpun.
Pada Masa Tabi’in
Periwayatan hadits pada masa tabi’in tidak begitu berbeda dengan masa sahabat. Hanya saja mereka mempelajari hadits dari sahabat yang telah menyebarkan hadits ke berbagai wilayah kekuasaan Islam, meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika selatan, Samarkand, dan Spanyol, di samping Madinah, Makkah, Basrah, Kufah, dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perkembangan kekuasaan Islam, pada masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadits.
Para tabi’in menerima hadits sangat hati-hati dan selektif. Hal ini disebabkan dampak pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, misalnya terjadinya perang siffin dan jamal pada masa Ali bin Abi Thalib yang memecah umat Islam menjadi beberapa kelompok (Khawarij, Syi’ah, Muawiyah dan golongan yang tidak termasuk ketiganya), ternyata berpengaruh negatif terhadap beredarnya hadits-hadits palsu (maudhu’) untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan lawan lawannya.
Sedangkan pengaruh positifnya adalah munculnya rencana untuk diadakan kodifikasi atau tadwin hadits sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
Masa Kodifikasi Hadits
Kodifikasi hadits pada masa ini adalah kodifikasi resmi berdasarkan perintah kepala negara dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya. Bukan dilakukan secara perorangan seperti pada masa nabi.
Usaha ini dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 pada masa bani Umayyah). Misalnya, instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Gubernur Madinah) untuk mengumpulkan hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Ansari dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr. Begitu pula instruksi kepada Syihab az-Zuhri sebagai orang yang dinilai banyak mengetahui hadits.
Latar Belakang Munculnya Ide Kodifikasi Hadits:
1. Dengan banyaknya ulama yang meninggal di medan perang, Umar bin Abdul Aziz khawatir hilangnya hadits.
2. Khawatir tercampurnya hadits Shahih dengan hadits palsu.
3. Semakin meluasnya wilayah Islam, para tabi’in membutuhkan hadits.
Ulama hadits yang berhasil menyusun kitab hadits yang pertama pada tahun 143 H di Madinah adalah Malik bin Anas ( 93-179 H), dengan kitab hasil karyanya al-Muwatta’. Di antara para pentadwin berikutnya adalah Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H) di Madinah, Ibn Juraij (80-150 H) di Makkah, ar-Rabi’ bin Sabih (w 160 H) di Basrah, Sofyan as-Sauri (97-161 H) di Kufah, al-Auzai (88-157 H) di Syam, Ma’mar bin Rasyid (93-153 H) di Yaman, Ibn al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir dsb.
Masa Seleksi dan Pengembangan Hadits
Masa seleksi hadits terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya sejak masa al-Makmun sampai al-Muktadir (201-300 H). munculnya periode ini disebabkan pada masa sebelumnya (tadwin) belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqtu’ dari hadits marfu’. Begitu pula belum bisa memisahkan hadits dha’if dari hadits shahih.
Berkat keuletan para ulama pada masa ini, muncullah kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, yang dikenal kutub sittah (kitab induk yang enam). Secara lengkap enam kitab tersebut adalah:
· Al-Jami’ as Shahih susunan al-Bukhari (194-252 H)
· Al-Jami’ as Shahih susunan Muslim (204-261 H)
· As-Sunan susunan Abu Daud (202-275 H)
· As-Sunan susunan Tirmizi (200-279 H)
· As-Sunan susunan Nasa’i (215-302 H)
· As-Sunan susunan Ibn Majah (207-273 H)
Urutan di atas menurut sebagian ulama menunjukkan urutan kualitasnya.
Setelah munculnya kutub as-sittah, al-Muwatta’ imam Malik, dan Musnad Ibn Hanbal, para ulama mulai mengembangkan dan menyempurnakan sistem penyusunan kitab-kitab hadits yang sudah ada dengan melakukan mukhtasar, jami’, takhrij dsb atau mengumpulkan hadits berdasarkan topik tertentu, seperti kumpulan hadits tentang hukum dsb.
(Tulisan ini disampaikan dalam perkuliahan Ulumul Hadis oleh dosen FAI-UMS. bapak Nurul Huda)
(Tulisan ini disampaikan dalam perkuliahan Ulumul Hadis oleh dosen FAI-UMS. bapak Nurul Huda)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)