HARTA DALAM
ISLAM
Oleh: Arif
Sulfiantono,S.Hut.
Sudah sejak dahulu kala (ribuan tahun yang lalu) sampai zaman sekarang,
manusia tidak bisa meninggalkan interaksi dengan harta/kekayaan (al-maal).
Dalam ajaran Islam memiliki harta adalah hak setiap orang. Untuk mengatur
pengelolaan harta agar mempunyai maslahat (manfaat) bagi orang lain
maupun lingkungan sekitar, Islam memberikan beberapa aturan dan rambu-rambu
yang tegas. Allah SWT menggambarkan kecintaan manusia terhadap harta dalam Q.S.
Ali-Imran ayat 14:
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [unta, lembu, kambing dan
biri-biri] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Realitas sifat manusiawi cinta pada harta sebenarnya juga terjadi pada diri
nabi-nabi pada umumnya, ketika kita melihat praktek kehidupan; yang tentu
dengan batasan dan arah yang dibenarkan oleh Allah. Kecintaan Nabi kepada
isteri atau isteri-isterinya; pakaian, makanan, kuda, unta, dan lainnya yang
tergolong paling bagus; juga menunjukkan realitas sifat manusiawi yang netral
ini.
Sifat netralitas atau mungkin disebut karakteristik manusia ini merupakan
potensi dasar. Karena netralitas, maka ada kemungkinan mengarah ke dua arah
yang bertentangan: yaitu, kemaksiatan (fujuraha) dan kebaikan (taqwaha),
sebagaimana dalam Q.S. Asy-Syams (91): 8;
”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.”
A.
PENGERTIAN HARTA
Di dalam kamus Lisanul-'Arab karya Ibnu Manzur diterangkan bahwa
kata ãÇá (harta) berasal dari kata kerja ãæø á ¡ ãáÊ ¡ ÊãÇ á ¡ ãáÊ . Jadi, harta ãÇ á) ) didefinisikan sebagai "segala sesuatu yang
dimiliki'. Berkata Sibawaihi, "Diantara bentuk imalah yang asing
dalam bahasa Arab ialah ãÇá)) (maal) yang bentuk jamaknya ÃãæÇá (amwaal).
Rasulullah dalam salah satu hadisnya; äåí
Ñ Óæá ááå Úä ÅÖÇÚÉ ÇáãÇá. Yang dimaksud dengan idha’atul
maal (ÅÖÇ ÚÉ ÇáãÇá) dalam hadis ini ialah menafkahkan di jalan yang
haram, maksiat, atau pada hal-hal yang tidak disukai Allah. Ada juga yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan idha’atul maal itu ialah perbuatan
mubadzir dan berlebih-lebihan walaupun dalam hal-hal yang halal atau
mubah. Berkata Ibnu Atsiir, ”Pada dasarnya, al-maal ãÇá)) itu
ialah barang milik seperti emas atau perak, tetapi kemudian kata al-maal
itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi dan dimiliki.
Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-maal berarti ’apa saja yang
dimiliki’, kata tamawwalta (ÊãæøáÊ) berarti ’harta kamu banyak
karena orang lain’, dan kata multahu (ãáÊå) berarti ’kamu
memberikan uang pada seseorang’. Di dalam kamus al-Muhith dijelaskan
bahwa maal itu ialah apa saja yang kamu miliki, sedangkan dalam Mu’jam
al-Wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang
atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan. Jadi
pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki
manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: ãæá
¡ ãáÊ ¡ áÊ Êãæø ¡ Êãæ
1.
Pengertian Harta dalam
Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an harta disebutkan dalam 25 surat dan 46 ayat; sedang
kaya/kekayaan disebutkan dalam 9 surat dan 11 ayat. Menurut Muhammad Abdul
Baqi, al-maal disebutkan 86 kali dalam Al-Qur’an.
Lafal al-maal terdapat pada ayat-ayat yang disebutkan di dalam beberapa
ayat berikut ini.
”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajar:20)
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [unta, lembu, kambing dan
biri-biri] dan sawah ladang.” (Ali-Imran:14).
”....memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin...”(Al-Baqarah:177)
”Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu...” (Ali Imran:186)
Jadi, yang dimaksud dengan maal (harta) itu berbeda-beda sesuai
dengan tempat di mana kata-kata itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi,
makna maal (harta) secara umum ialah segala sesuatu yang disukai
manusia, seperti hasil pertanian, perak atau emas, ternak, atau barang-barang
lain yang termasuk perhiasan dunia. Adapun tujuan pokok dari harta itu ialah
membantu untuk memakmurkan bumi dan mengabdi pada Allah.
2.
Pengertian Harta dalam
As-Sunnah
Di dalam kitab-kitab hadis terdapat banyak hadis yang mengandung kata maal
(harta), diantaranya hadis Rasulullah,
äÚã ÇáãÇá ÇáÕøÃ
áÍ Ýì íÏ ÇáÑø Ìá ÇáÕøÇ áÍ (ãÊÝÞ Úáíå)
Hadis ini menunjukkan bahwa maal itu adalah nikmat Allah jika
digunakan untuk kebaikan. Walaupun begitu, manusia tidak boleh menyembah harta
dan menjadikannya sebagai tujuan hidup dunia dan lupa mengabdi kepada Allah.
Dalam hadis lain Rasulullah:
ßáø ÇáãÓáã Úá
ÇáãÓáã ÍÑÇ ã Ï ã Ï ãå æãÇáå æÚÑ Öå ßÍÑãÉ
íæ ãßã åÐÇ Ýì
ÔåÑ ßã åÐ Ýì ÈáÏ ßã åÐÇ (Ñ æ Çå ãÓáã)
Hadis-hadis ini secara tegas melarang penahanan
atau penimbunan harta, me-nasionalisasi-kan (seperti sistem komunis) atau
mengganggu harta seseorang oleh pemerintah tanpa alasan yang tegas. Juga, tidak boleh bagi setiap orang mengambil harta orang lain kecuali
dengan cara yang benar dan tidak dengan cara rampasan. Hal ini karena
Rasulullah menjadikan antara kezaliman atau kekerasan terhadap jiwa, harta, dan
kehormatan dalam tingkat kezaliman yang sama, karena semua itu termasuk
komponen-komponen kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Harta adalah tiang kehidupan dan sangat disukai manusia serta harta juga
termasuk sarana untuk menguji keimanan seseorang. Hal ini karena di antara tujuan
hukum Islam adalah memelihara harta dan tidak boleh berbuat zalim terhadap
orang lain serta wajib menggunakan harta itu dalam hal-hal yang diridhai Allah.
3.
Pengertian Harta menurut
Ulama atau dalam Fiqh
Abdur Rahman I. Doi mendefinisikan maal (harta) adalah sesuatu yang
maujud dan dapat dipegang dalam penggunaan dan manfaat pada waktu yang
diperlukan. Udara dan air tidak dapat diselamatkan, dan karenanya tidak dapat
dimasukkan ke dalam maal. Begitu pula pohon-pohon liar di hutan
belantara dan rumput-rumputan tidak dapat dianggap sebagai maal.
Hak milik/harta menurut madzab Hanafi adalah sesuatu yang layak dimiliki
menurut syarat dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai dan bersifat konkret.
Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama,
adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk
menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf
(adat). Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama,
adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai
harta. Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama,
sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.
Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak
milik:
1.
sesuatu itu dapat diambil
manfaat
2.
sesuatu itu mempunyai
nilai ekonomi
3.
sesuatu itu secara ’uruf
(adat yang benar) diakui sebagai hak milik
4. adanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.
Menurut Az-Zarkasyi dari ulama Syafi’iyyah mendefinisikan mal adalah
apa-apa yang bermanfaat, yang bisa berupa barang/benda atau juga bisa berupa
manfaat. Yang berupa benda terbagi dua:barang dan hewan. Yang dimaksud dengan
barang di sini ialah semua harta secara umum. Adapun hewan juga terbagi dua: 1)
hewan yang tidak bisa diambil manfaatnya, maka ini tidak bisa disebut harta,
seperti lalat, nyamuk, kelelawar, dan serangga; 2) hewan yang bermanfaat;
seperti hewan yang bertabiat jinak dan patuh seperti binatang ternak; sedang
hewan yang mempunyai tabiat jahat dan merusak, seperti singa dan beruang; tidak
bisa disebut harta. Ibnu Abidin mendefinisikan mal ialah segala sesuatu yang
disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. Nilai mal
itu akan ada jika semua orang atau kebanyakan orang menganggapnya mempunyai
nilai (qimah). Adapun arti tamwil (khath) ialah memberikan
atau mengukuhkan nilai pada sesuatu mal dan boleh mengambil manfaat darinya
secara syar’i.
At-Tahanawi berkata di kalangan ulama fiqih, maal atau harta
berdasarkan tamawwul, yaitu bisa disimpan oleh sebagian atau semua orang. Jika
boleh mengambil manfaat secara syar’i dari barang itu, barang itu mutaqawwim
(berharga), tetapi jika tidak maka tidak mutaqawwim. Ibnu Nujaim
al-Misri berkata, ”Maal ialah apa-apa yang bernilai dan bisa disimpan
untuk kebutuhan.” Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa mal itu ialah
setiap benda yang mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang
bisa dimiliki dan bisa diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan
selain manusia yang dijadikan untuk kemaslahatan manusia dan manusia dapat
memiliki dan memanfaatkan secara bebas.
M. Faruq an-Nabahan melihat kerisauan para tokoh syariah dan pembuat
undang-undang dalam mendefinisikan harta. Maksud pendefinisian harta ialah
untuk mendata apa saja yang dapat diperdagangkan. Dari sinilah, mereka (ulama)
memperluas arti maal (harta), sehingga di dalamnya termasuk al haq
(hak tertentu), misalnya hak mendapatkan privelege (hak istimewa, privilese)
dan hak didahulukan.
Dari beberapa pengertian ulama tentang harta di atas, Hasbi ash-Shiddiqy
membuat kesimpulan, bahwa yang termasuk harta ialah:
1.
Nama bagi selain manusia
yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara
pada suatu tempat dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiyar.
2.
Sesuatu yang dapat
dimiliki setiap manusia.
3.
Sesuatu yang sah untuk
diperjualbelikan.
4.
Sesuatu yang dapat
dimiliki dan mempunyai nilai (harga).
5.
Sesuatu yang berwujud.
6.
Sesuatu yang dapat
disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya
ketika dibutuhkan.
Konsekuensi logis dari rumusan harta menurut Hasbi ash-Shiddiqy di atas
ialah; manusia bukanlah harta sekalipun berwujud, babi bukanlah harta karena
bagi muslim babi haram diperjualbelikan dan sebiji beras juga bukan harta,
karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut ’urf.
B.
KLASIFIKASI HARTA
Harta (kekayaan atau hak milik) pada dasarnya diklasifikasinya menjadi dua;
yaitu materi dan non materi. Contoh yang berwujud materi adalah uang,
perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Harta yang berwujud non materi adalah
deposito, HAKI (Hak Ats Kekayaan Intelektual), saham, dan lain sebagainya.
Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, harta terbagi menjadi
berbagai macam tergantung dengan orientasi pembagiannya. Di antara bentuk
klasifikasi tersebut adalah :
1.
Harta Tetap/Diam dan Harta
Bergerak
Harta tetap adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan seperti
tanah dan yang melekat dengan tanah, seperti bangunan permanen.
Harta bergerak adalah yang dapat dengan
cepat dipindahkan dan dialihkan.
Pembagian Mal (Harta) dari segi benda:
1.
mal mutaqawwim (benda bernilai) dan maal gair mutaqawwim (benda tak bernilai);
2.
mal manqul (benda bergerak) dan ’uqar (benda tak bergerak);
3.
mal mamluk (benda ada pemiliknya) dan mal mubah (benda tak bertuan);
4.
mal khass (benda milik privat) dan mal ‘amm (benda milik umum);
5.
mal misli (benda bercontoh) dan mal qimi (benda tak bercontoh);
6.
mal istihlaki (benda habis pakai) dan mal gair istihlaki (benda tak habis pakai);
7.
usul (benda pokok) dan simar (hasil);
8.
mal qabil lil al-qismah (benda dapat dibagi) dan aal gair qabil lil al-qismah (benda tak
dapat dibagi).
Menurut kalangan Hanafiyah yang termasuk harta diam hanya tanah saja. Namun
menurut kalangan Malikiyah pengertiannya bisa meluas kepada segala yang melekat
dengan tanah secara permanen, seperti tanaman dan bangunan. Karena keduanya
tidak mungkin dipindahkan kecuali harus dirubah sehingga bangunannya menjadi
hancur berkeping-keping, sementara tanamannya berubah menjadi kayu bakar.
Macam Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI):
1.
hak perlindungan varietas
tanaman
2.
hak rahasia dagang
3.
hak desain industri
4.
hak desain tata letak
terpadu
5.
paten
6.
hak atas merek
7.
hak cipta
Fatwa MUI tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI):
·
HAKI termasuk huquq
maliyyah yang dilindungi
·
HAKI yang mendapat
perlindungan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum syariah
·
HAKI dapat dijadikan obyek
akad baik muawadah maupun tabarru’
·
Pelanggaran terhadap HAKI,
termasuk dan tidak terbatas pada menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai,
menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan,
mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HAKI milik orang lain
secara tanpa hak, merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.
2.
Harta dalam Ekonomi Islam
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni
dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik.
Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah
pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat
oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara
adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah
tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah
Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu. Hak menjadi khalifah Allah
dalam harta disimpulkan dari pengertian hak khilafat umum yang diperuntukkan
bagi manusia, sesuai firman-Nya:
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Q.S. Al-Baqarah (2): 30)
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dalam harta, pada hakikatnya
menunjukkan bahwa manusia merupakan wakil atau petugas yang bekerja pada Allah
demi kebaikan seluruh masyarakat Islam. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
manusia sebagai khalifah-khalifah Allah untuk merasa terikat dengan
perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah tentang harta ini serta mau
menepatinya.
Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:
1.
Allah Maha Pencipta, bahwa
kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.
2.
Semua harta adalah milik
Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja.
Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
3.
Iman kepada hari Akhir.
Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala
yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya
darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus
dipertanggungjawabkan.
C.
PENGELOLAAN HARTA DALAM
ISLAM
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai
Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:
1.
Larangan mencampur-adukkan
yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal
dan yang bathil)”
2.
Larangan mencintai harta
secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
3.
”Setiap muslim terhadap
muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim)
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah
menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk
menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam
Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.”
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara
mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah
milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang
telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi
sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang
bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat
kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan
terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi
kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan
kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam
masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam
mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan
dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram,
maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak
dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran
karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya
(Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa
yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf
ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf
adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di
dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans
ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir,
manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini
bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme
Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan
menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain.
Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh
pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir
ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering
membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti
hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir
dengan ancaman sebagai temannya setan.
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku
boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan
harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah
yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang
dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu
adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu
muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam
Islam:
1.
harta kekayaan harus
dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);
2.
pembayaran zakat serta
pendistribusian (produktif/konsumtif)
3.
penggunaan yang berfaidah
(untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)
4.
penggunaan yang tidak
merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi
maupun non ekonomi
5.
kepemilikan yang sah
sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.
RSUD Sleman, 20-03-08, pukul 16.00
Referensi:
Abdul Husain at-Tariqi, Abdullah.. Ekonomi Islam. Prinsip, Dasar, dan
Tujuan. Alih bahasa: M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra Insania Press,
2004.
Alma, Buchari. Dasar-dasar Etika Bisnis Islami, cet. III. Bandung:
CV Alfabeta, 2003.
Anwar, Syamsul. Etika Bisnis dan Hukum Transaksi Keuangan2006. Tidak
dipublikasikan.
Arief, Abdussalam. Al-Mal (Harta) dalam Perspektif Islam. 2006.
Tidak dipublikasikan.
Azizy, A. Qodri. Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Meneropong
Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, cet. I.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Baiquni, Syawaqi, dan Azis, Indeks Al-Qur’an. Surabaya: Penerbit
ARKOLA, 1996.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: CV. Toha Putra. 1996.
al-Mushlih, Abdullah dan ash-Shawi, Shalah. Fikih Ekonomi
Keuangan Islam, alih bahasa Abu Umar Basyir, cet. I. Jakarta: Darul Haq,
2004.
Muhammad Al-‘Assal, Ahmad dan Ahmad Abdul Karim, Fathu. Sistem, Prinsip
dan Tujuan Ekonomi Islam, alih bahasa Imam Saefudin, cet. I. Bandung: CV
Pustaka Setia: 1999.
an-Nabahan, M. Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Pilihan Setelah
Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa Muhadi Zainuddin, cet.
I. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zainal
Arifin dan Dahlia Husin, cet. IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Rahman I. Doi, Abdur. Muamalah. Syari’ah III, alih bahasa Zaimudin
dan Rusydi Sulaiman, cet. I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Ash-Shalih, Ahmad bin Muhammad. Manajemen Islami Harta Kekayaan,
cet. II, Solo: Era Intermedia, 2002.
ash-Shiddiqy, Hasbi. Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 1997
Syahatah, Husein. Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, penerjemah:
Husnul Fatarib, Lc. Cet. 1. Jakarta: Penerbit AKAR, 2001
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)