Pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas rawi:
1. Hadits Mutawattir, secara bahasa berarti yang datang berikut dengan kita, atau beriring-iringan antara satu dengan yang lainnya dengan tanpa ada jarak.
Secara istilah berarti hadits yang diriwayatkan sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka mustahil bersepakat untuk berdusta, sejak dari awal sanad hingga akhir sanad pada setiap tingkat.
Syarat-syarat hadits mutawattir:
Menurut ulama mutaqaddimin, permasalahan sanad dalam hadits mutawattir tidak termasuk pembahasan ilmu hadits. Suatu hadits apabila sudah terbukti mutawattir, maka tidak perlu diteliti keadaan rawinya. Sebab kualitas perawi tidak menjadi sasaran pembahasan hadits mutawattir. Yang menjadi penekanan adalah kuantitas para rawi dan Kemungkinan adanya kesepakatan dusta atau tidak. Maka, Wajib menyakini kebenarannya, mengamalkan kandungannya, tidak boleh ada keraguan, dan dianggap kafir jika mengingkari kebenarannya.
Sedangkan ulama mutaakhirin menetapkan, suatu hadits masuk kategori mutawattir apabila memenuhi syarat:
a. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Menurut al-Qadi al-Baqillani, jumlah perawi hadits mutawattir sekurang-kurangnya 5 orang, mengqiyaskan jumlah Nabi yang mendapatkan gelar ulul azmi.
Astikhary menetapkan minimal 10 orang, sebab merupakan awal bilangan terbanyak.
Ulama lain menetapkan 12 orang berdasarkan QS. al-Maidah: 12.
Ada yang menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan QS. al-Anfal: 65.
Ada juga yang menetapkan 40 orang berdasarkan QS. al-Anfal: 64.
Selain itu juga ada yang menyatakan 70 orang berdasarkan QS. al-A’raf: 155.
Perbedaan penetapan jumlah rawi di atas sebenarnya bukan masalah prinsipil, tetapi diukur pada tercapainya ilmu daruri. Yang terpenting bukan sedikit banyak jumlah rawi namun keyakinan bahwa berita yang disampaikan itu benar.
b. Adanya keseimbangan antar perawi pada tabaqat pertama dengan tabaqat berikutnya.
c. Berdasarkan tanggapan pancaindera.
Berita yang diterima merupakan hasil pendengaran maupun penglihatan sendiri.
Pembagian Hadits Mutawattir:
Pertama, mutawattir lafzhi, yaitu hadits yang mutawattir periwayatannya dalam lafal dan maknanya. Contoh:
نزل القرآن على سبعة أحرف.
Hadits diatas diriwayatkan 27 sahabat.
من كذب علىّ متعمّدا فليتبوّء مقعده من النّار.
Kedua, mutawattir maknawi, yaitu hadits yang maknanya mutawattir, sedang lafalnya tidak. Contoh: hadits yang meriwayatkan tentang Nabi ketika berdoa mengangkat kedua tangannya. Hadits semacam ini dalam berbagai redaksi yang berbeda berjumlah sekitar seratus hadits.
Ketiga, mutawattir amali, yaitu hadits mutawattir yang kandungannya berisi tentang sesuatu yang dikerjakan Nabi. Contoh: hadits yang menerangkan tentang waktu shalat, raka’at shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta dsb.
Faedah hadits mutawattir adalah memberikan faedah ilmu daruri, suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits tersebut hingga membawa keyakinan yang qath’i.
2. Ahad, secara bahasa berarti satu; suatu hadits yang disampaikan satu orang perawi. Menurut istilah adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sebanyak rawi hadits mutawattir atau hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawattir atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung sampai pada Nabi tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni.
Pembagian Hadis Ahad:
Pertama, hadits masyhur, secara bahasa berarti sesuatu yang sudah tersebar atau populer. Menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan tiga orang atau lebih namun belum mencapai derajat mutawattir.
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan, dan dla’if.
Hadits masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik dari segi sanad maupun matannya. Seperti hadits dari Ibnu Umar:
إِذَا جَاءَ كُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ.
Ketika kamu hendak melaksanakan shalat jumat, maka hendaklah mandi.
Hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang memenuhi kritetria hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Contoh:
لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ.
Adapun yang dimaksud hadits masyhur dhaif adalah hadits masyhur yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits hasan, baik dari sanad maupun matannya. Contoh:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ.
Macam-macam hadits masyhur:
Istilah masyhur yang ditetapkan pada suatu hadits, kadang-kadang bukan berdasarkan kriteria di atas. Namun hadits tsb dianggap populer menurut ahli ilmu tertentu, meskipun bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadits masyhur. Dari pertimbangan tsb maka hadits masyhur dibagi:
1. Masyhur di kalangan ahli hadits. Seperti: hadits yang menerangkan Rasulullah membaca doa qunut.
2. Masyhur di kalangan ulama ahli hadits, ulama lain dan kalangan umum. Contoh:
المسلم من سلِم المسلمون من لسانه ويده.
3. Masyhur di kalangan ulama fiqh. Contoh:
نهى رسول الله ص م عن بيع الغرر.
4. Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh. Contoh:
إذا حكم الحاكم ثمّ اجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثمّ أخطأ فله أجر.
5. Masyhur di kalangan ahli sufi.
6. Masyhur di kalangan ulama Arab.
Kedua, hadits aziz, berasal dari kata ‘azza- ya’izzu: sedikit atau jarang adanya. ‘Azza- ya’azzu: kuat.
Secara istilah, adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad. Contoh:
لا يؤمن احدكم حتّى أكون أحبّ إليه من نفسه ووالِدِه وولَدِه والنّاس أجمعين.
Hadits aziz ada yang shahih, hasan atau dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan yang berkaitan dengan hadits shahih, hasan, dan dhaif.
Ketiga, hadits gharib, secara bahasa (al-munfarid): menyendiri. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun yang lainnya. Hadits gharib ada yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung pada kesesuaiannya dengan kriteria shahih, hasan, dan dhaif.
Hadits gharib di bagi dua:
1. Gharib mutlak
Disebut hadits gharib mutlak apabila terdapat rawi yang menyendiri dalam meriwayatkan hadits, meskipun hanya terdapat pada satu thabaqat. Penyendirian rawi terjadi pada rawi tabi’in, bukan sahabat.
2. Gharib nisbi
Disebut gharib nisbi apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, seperti: kedhabitan, keadilan rawi.(Tulisan ini disampaikan dalam perkuliahan Ulumul Hadis oleh dosen FAI-UMS. bapak Nurul Huda)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)