Jumat, 20 April 2012

Jumat, April 20, 2012

HARTA DALAM ISLAM
Oleh: Arif Sulfiantono,S.Hut.

Sudah sejak dahulu kala (ribuan tahun yang lalu) sampai zaman sekarang, manusia tidak bisa meninggalkan interaksi dengan harta/kekayaan (al-maal). Dalam ajaran Islam memiliki harta adalah hak setiap orang. Untuk mengatur pengelolaan harta agar mempunyai maslahat (manfaat) bagi orang lain maupun lingkungan sekitar, Islam memberikan beberapa aturan dan rambu-rambu yang tegas. Allah SWT menggambarkan kecintaan manusia terhadap harta dalam Q.S. Ali-Imran ayat 14:

”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [unta, lembu, kambing dan biri-biri] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Realitas sifat manusiawi cinta pada harta sebenarnya juga terjadi pada diri nabi-nabi pada umumnya, ketika kita melihat praktek kehidupan; yang tentu dengan batasan dan arah yang dibenarkan oleh Allah. Kecintaan Nabi kepada isteri atau isteri-isterinya; pakaian, makanan, kuda, unta, dan lainnya yang tergolong paling bagus; juga menunjukkan realitas sifat manusiawi yang netral ini.

Sifat netralitas atau mungkin disebut karakteristik manusia ini merupakan potensi dasar. Karena netralitas, maka ada kemungkinan mengarah ke dua arah yang bertentangan: yaitu, kemaksiatan (fujuraha) dan kebaikan (taqwaha), sebagaimana dalam Q.S. Asy-Syams (91): 8;
”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”

A.      PENGERTIAN HARTA

Di dalam kamus Lisanul-'Arab karya Ibnu Manzur diterangkan bahwa kata ãÇá   (harta) berasal dari kata kerja ãæø á ¡ ãáÊ ¡ ÊãÇ á ¡ ãáÊ  . Jadi, harta ãÇ á) ) didefinisikan sebagai "segala sesuatu yang dimiliki'. Berkata Sibawaihi, "Diantara bentuk imalah yang asing dalam bahasa Arab ialah ãÇá)) (maal) yang bentuk jamaknya ÃãæÇá (amwaal).

Rasulullah dalam salah satu hadisnya; äåí Ñ Óæá ááå Úä ÅÖÇÚÉ ÇáãÇá. Yang dimaksud dengan idha’atul maal (ÅÖÇ ÚÉ ÇáãÇá) dalam hadis ini ialah menafkahkan di jalan yang haram, maksiat, atau pada hal-hal yang tidak disukai Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan idha’atul maal itu ialah perbuatan mubadzir dan berlebih-lebihan walaupun dalam hal-hal yang halal atau mubah. Berkata Ibnu Atsiir, ”Pada dasarnya, al-maal ãÇá)) itu ialah barang milik seperti emas atau perak, tetapi kemudian kata al-maal itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa dikonsumsi dan dimiliki.

Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-maal berarti ’apa saja yang dimiliki’, kata tamawwalta (ÊãæøáÊ) berarti ’harta kamu banyak karena orang lain’, dan kata multahu (ãáÊå) berarti ’kamu memberikan uang pada seseorang’. Di dalam kamus al-Muhith dijelaskan bahwa maal itu ialah apa saja yang kamu miliki, sedangkan dalam Mu’jam al-Wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan. Jadi pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase:  ãæá ¡ ãáÊ ¡ áÊ Êãæø ¡   Êãæ

1.       Pengertian Harta dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an harta disebutkan dalam 25 surat dan 46 ayat; sedang kaya/kekayaan disebutkan dalam 9 surat dan 11 ayat. Menurut Muhammad Abdul Baqi, al-maal disebutkan 86 kali dalam Al-Qur’an.
Lafal al-maal terdapat pada ayat-ayat yang disebutkan di dalam beberapa ayat berikut ini.

”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajar:20)
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [unta, lembu, kambing dan biri-biri] dan sawah ladang.” (Ali-Imran:14).
”....memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin...”(Al-Baqarah:177)
”Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu...” (Ali Imran:186)

Jadi, yang dimaksud dengan maal (harta) itu berbeda-beda sesuai dengan tempat di mana kata-kata itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, makna maal (harta) secara umum ialah segala sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak atau emas, ternak, atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia. Adapun tujuan pokok dari harta itu ialah membantu untuk memakmurkan bumi dan mengabdi pada Allah.

2.       Pengertian Harta dalam As-Sunnah

Di dalam kitab-kitab hadis terdapat banyak hadis yang mengandung kata maal (harta), diantaranya hadis Rasulullah,
äÚã ÇáãÇá ÇáÕøà áÍ Ýì íÏ ÇáÑø Ìá ÇáÕøÇ áÍ (ãÊÝÞ Úáíå)
Hadis ini menunjukkan bahwa maal itu adalah nikmat Allah jika digunakan untuk kebaikan. Walaupun begitu, manusia tidak boleh menyembah harta dan menjadikannya sebagai tujuan hidup dunia dan lupa mengabdi kepada Allah.
Dalam hadis lain Rasulullah:
ßáø ÇáãÓáã Úá ÇáãÓáã ÍÑÇ ã Ï ã Ï ãå æãÇáå æÚÑ Öå ßÍÑãÉ
íæ ãßã åÐÇ Ýì ÔåÑ ßã åÐ Ýì ÈáÏ ßã åÐÇ (Ñ æ Çå ãÓáã)

Hadis-hadis ini secara tegas melarang penahanan atau penimbunan harta, me-nasionalisasi-kan (seperti sistem komunis) atau mengganggu harta seseorang oleh pemerintah tanpa alasan yang tegas. Juga, tidak boleh bagi setiap orang mengambil harta orang lain kecuali dengan cara yang benar dan tidak dengan cara rampasan. Hal ini karena Rasulullah menjadikan antara kezaliman atau kekerasan terhadap jiwa, harta, dan kehormatan dalam tingkat kezaliman yang sama, karena semua itu termasuk komponen-komponen kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Harta adalah tiang kehidupan dan sangat disukai manusia serta harta juga termasuk sarana untuk menguji keimanan seseorang. Hal ini karena di antara tujuan hukum Islam adalah memelihara harta dan tidak boleh berbuat zalim terhadap orang lain serta wajib menggunakan harta itu dalam hal-hal yang diridhai Allah.

3.       Pengertian Harta menurut Ulama atau dalam Fiqh

Abdur Rahman I. Doi mendefinisikan maal (harta) adalah sesuatu yang maujud dan dapat dipegang dalam penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan. Udara dan air tidak dapat diselamatkan, dan karenanya tidak dapat dimasukkan ke dalam maal. Begitu pula pohon-pohon liar di hutan belantara dan rumput-rumputan tidak dapat dianggap sebagai maal.

Hak milik/harta menurut madzab Hanafi adalah sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai dan bersifat konkret. Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf (adat). Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai harta. Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.

Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak milik:
1.       sesuatu itu dapat diambil manfaat
2.       sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi
3.       sesuatu itu secara ’uruf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik
4.       adanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.

Menurut Az-Zarkasyi dari ulama Syafi’iyyah mendefinisikan mal adalah apa-apa yang bermanfaat, yang bisa berupa barang/benda atau juga bisa berupa manfaat. Yang berupa benda terbagi dua:barang dan hewan. Yang dimaksud dengan barang di sini ialah semua harta secara umum. Adapun hewan juga terbagi dua: 1) hewan yang tidak bisa diambil manfaatnya, maka ini tidak bisa disebut harta, seperti lalat, nyamuk, kelelawar, dan serangga; 2) hewan yang bermanfaat; seperti hewan yang bertabiat jinak dan patuh seperti binatang ternak; sedang hewan yang mempunyai tabiat jahat dan merusak, seperti singa dan beruang; tidak bisa disebut harta. Ibnu Abidin mendefinisikan mal ialah segala sesuatu yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. Nilai mal itu akan ada jika semua orang atau kebanyakan orang menganggapnya mempunyai nilai (qimah). Adapun arti tamwil (khath) ialah memberikan atau mengukuhkan nilai pada sesuatu mal dan boleh mengambil manfaat darinya secara syar’i.

At-Tahanawi berkata di kalangan ulama fiqih, maal atau harta berdasarkan tamawwul, yaitu bisa disimpan oleh sebagian atau semua orang. Jika boleh mengambil manfaat secara syar’i dari barang itu, barang itu mutaqawwim (berharga), tetapi jika tidak maka tidak mutaqawwim. Ibnu Nujaim al-Misri berkata, ”Maal ialah apa-apa yang bernilai dan bisa disimpan untuk kebutuhan.” Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa mal itu ialah setiap benda yang mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang bisa dimiliki dan bisa diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan selain manusia yang dijadikan untuk kemaslahatan manusia dan manusia dapat memiliki dan memanfaatkan secara bebas.

 M. Faruq an-Nabahan melihat kerisauan para tokoh syariah dan pembuat undang-undang dalam mendefinisikan harta. Maksud pendefinisian harta ialah untuk mendata apa saja yang dapat diperdagangkan. Dari sinilah, mereka (ulama) memperluas arti maal (harta), sehingga di dalamnya termasuk al haq (hak tertentu), misalnya hak mendapatkan privelege (hak istimewa, privilese) dan hak didahulukan.

Dari beberapa pengertian ulama tentang harta di atas, Hasbi ash-Shiddiqy membuat kesimpulan, bahwa yang termasuk harta ialah:
1.       Nama bagi selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiyar.
2.       Sesuatu yang dapat dimiliki setiap manusia.
3.       Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan.
4.       Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga).
5.       Sesuatu yang berwujud.
6.       Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

Konsekuensi logis dari rumusan harta menurut Hasbi ash-Shiddiqy di atas ialah; manusia bukanlah harta sekalipun berwujud, babi bukanlah harta karena bagi muslim babi haram diperjualbelikan dan sebiji beras juga bukan harta, karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut ’urf.

B.      KLASIFIKASI HARTA

Harta (kekayaan atau hak milik) pada dasarnya diklasifikasinya menjadi dua; yaitu materi dan non materi. Contoh yang berwujud materi adalah uang, perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Harta yang berwujud non materi adalah deposito, HAKI (Hak Ats Kekayaan Intelektual), saham, dan lain sebagainya. Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, harta terbagi menjadi berbagai macam tergantung dengan orientasi pembagiannya. Di antara bentuk klasifikasi tersebut adalah :

1.       Harta Tetap/Diam dan Harta Bergerak

Harta tetap adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan seperti tanah dan yang melekat dengan tanah, seperti bangunan permanen.
Harta bergerak adalah yang dapat dengan cepat dipindahkan dan dialihkan.
Pembagian Mal (Harta) dari segi benda:
1.          mal mutaqawwim (benda bernilai) dan maal gair mutaqawwim (benda tak bernilai);
2.          mal manqul (benda bergerak) dan ’uqar (benda tak bergerak);
3.          mal mamluk (benda ada pemiliknya) dan mal mubah (benda tak bertuan);
4.          mal khass (benda milik privat) dan mal ‘amm (benda milik umum);
5.          mal misli (benda bercontoh) dan mal qimi (benda tak bercontoh);
6.          mal istihlaki (benda habis pakai) dan mal gair istihlaki (benda tak habis pakai);
7.          usul (benda pokok) dan simar (hasil);
8.          mal qabil lil al-qismah (benda dapat dibagi) dan aal gair qabil lil al-qismah (benda tak dapat dibagi).

Menurut kalangan Hanafiyah yang termasuk harta diam hanya tanah saja. Namun menurut kalangan Malikiyah pengertiannya bisa meluas kepada segala yang melekat dengan tanah secara permanen, seperti tanaman dan bangunan. Karena keduanya tidak mungkin dipindahkan kecuali harus dirubah sehingga bangunannya menjadi hancur berkeping-keping, sementara tanamannya berubah menjadi kayu bakar.
   
Macam Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI):
1.       hak perlindungan varietas tanaman
2.       hak rahasia dagang
3.       hak desain industri
4.       hak desain tata letak terpadu
5.       paten
6.       hak atas merek
7.       hak cipta

Fatwa MUI tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI):
·         HAKI termasuk huquq maliyyah yang dilindungi
·         HAKI yang mendapat perlindungan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum syariah
·         HAKI dapat dijadikan obyek akad baik muawadah maupun tabarru’
·         Pelanggaran terhadap HAKI, termasuk dan tidak terbatas pada menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HAKI milik orang lain secara tanpa hak, merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.

2.       Harta dalam Ekonomi Islam

Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.

Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu. Hak menjadi khalifah Allah dalam harta disimpulkan dari pengertian hak khilafat umum yang diperuntukkan bagi manusia, sesuai firman-Nya:

”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."  (Q.S. Al-Baqarah (2): 30)

Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dalam harta, pada hakikatnya menunjukkan bahwa manusia merupakan wakil atau petugas yang bekerja pada Allah demi kebaikan seluruh masyarakat Islam. Oleh karena itu, menjadi kewajiban manusia sebagai khalifah-khalifah Allah untuk merasa terikat dengan perintah-perintah dan ajaran-ajaran Allah tentang harta ini serta mau menepatinya.

Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:
1.          Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.
2.          Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
3.          Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.



C.      PENGELOLAAN HARTA DALAM ISLAM

Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:
1.             Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”
2.             Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
3.             ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim)

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.

”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.

Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.

Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf  adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat

Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.

Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:
1.          harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);
2.          pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
3.          penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)
4.          penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi
5.          kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.

RSUD Sleman, 20-03-08, pukul 16.00
Referensi:
Abdul Husain at-Tariqi, Abdullah.. Ekonomi Islam. Prinsip, Dasar, dan Tujuan. Alih bahasa: M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004.
Alma, Buchari. Dasar-dasar Etika Bisnis Islami, cet. III. Bandung: CV Alfabeta, 2003.
Anwar, Syamsul. Etika Bisnis dan Hukum Transaksi Keuangan2006. Tidak dipublikasikan.
Arief, Abdussalam. Al-Mal (Harta) dalam Perspektif Islam. 2006. Tidak dipublikasikan.
Azizy, A. Qodri. Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, cet. I.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Baiquni, Syawaqi, dan Azis, Indeks Al-Qur’an. Surabaya: Penerbit ARKOLA, 1996.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra. 1996.
al-Mushlih, Abdullah dan ash-Shawi, Shalah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, alih bahasa Abu Umar Basyir, cet. I. Jakarta: Darul Haq, 2004.
Muhammad Al-‘Assal, Ahmad dan Ahmad Abdul Karim, Fathu. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, alih bahasa Imam Saefudin, cet. I. Bandung: CV Pustaka Setia: 1999.
an-Nabahan, M. Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, alih bahasa Muhadi Zainuddin, cet. I. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, alih bahasa Zainal Arifin dan Dahlia Husin, cet. IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Rahman I. Doi, Abdur. Muamalah. Syari’ah III, alih bahasa Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, cet. I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Ash-Shalih, Ahmad bin Muhammad. Manajemen Islami Harta Kekayaan, cet. II, Solo: Era Intermedia, 2002.
ash-Shiddiqy, Hasbi. Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997
Syahatah, Husein. Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, penerjemah: Husnul Fatarib, Lc. Cet. 1. Jakarta: Penerbit AKAR, 2001




0 komentar:

Posting Komentar

thank you for your comment (شكرا)

  • Assalamu'alaikum wahai saudaraku kaum muslimin
  • Blog ini diperuntukkan sebagai media menyebarkan ilmu
  • Perjuangan menuju kemuliaan