Antara Bunga dan Riba-Diantara kaedah yang menjadikan dasar hukum dalam akad muamalah adalah larangan riba dalam aktifitas transaksi muamalah. Masalah riba
sudah disebutkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan sudah dijelaskan oleh
Rasulullah n dalam haditsnya serta penjelasan rincinya juga sudah
diperbincangkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Bahkan dalam
catatan sejarah, disebutkan bahwa riba tidak hanya dilarang
dalam ajaran Islam akan tetapi dilarang dan dikecam oleh hampir semua
agama di muka bumi ini. Namun demikian, banyak umat Islam tidak
mengetahui larangan ini, bahkan ada yang pura-pura tidak mengetahuinya.
Dalam hadits telah disebutkan bahwa diantara tujuh kategori dosa besar
adalah memakan harta riba.
Seiring dengan perkembangan industri keuangan yang beragam
transaksinya muncul pula transaksi riba yang dikemas dalam industri
keuangan khususnya perbankan, hal ini lebih dikenal dengan nama bunga (interest).
Praktik bunga yang dipraktikkan industri keuangan ini sama dengan
praktik riba yang dipraktikkan masyarakat Arab pada masa Rasulullah n.
Dengan memeriksa ayat-ayat larangan riba dalam Al-Qur’an dan Hadits,
dapat diketahui bahwa larangan riba hampir selalu diawali dengan kata
“al” (ma’rifah) yang artinya menunjuk kepada praktik riba yang
telah dilakukan dan sudah cukup dikenal pada waktu itu. Praktik riba
yang dilakukan pada waktu itu dapat diikuti hasil penelitian Anwar Iqbal
Quresi, dalam bukunya Islam and the Theory of Interest, halaman 49 sebagai berikut :
a) Seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan
perjanjian bahwa pembayarannya akan dilakukan pada suatu tanggal yang
telah disetujui bersama. Apabila pembeli kemudian tidak dapat
membayarnya pada tanggal yang telah disetujui itu, suatu “waktu
lenggang” diberikan asalkan pembeli setuju untuk membayar jumlah yang
lebih besar dari harga semula.
b) Seseorang meminjamkan sejumlah uang selama suatu jangka
waktu tertentu dengan syarat bahwa pada saat
jatuh temponya nanti si peminjam membayar “pokok modal” bersama suatu
jumlah tetap “riba” atau “tambahan”.
c) Si peminjam dan pemberi pinjaman setuju atas suatu
tingkat “riba” tertentu selama suatu jangka waktu tertentu. Apabila
setelah jangka waktu tersebut si peminjam tidak dapat melunasi hutangnya
beserta jumlah tambahannya, ia kemudian diharuskan membayar suatu
tingkat kenaikan “riba” sebagai tambahan “waktu lenggang”.
Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan
sharih, masih saja ada beberapa pihak yang mencoba untuk memberikan
pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan ;
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori
mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits
riba.
Darurat
Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan
pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang
dinyatakan oleh syara’ (Allah dan rasul-Nya) bukan pengertian
sehari-hari terhadap istilah ini.
/ Imam Suyuthi dalam bukunya Al Asybah wan Nadhair ( الاشباه والنظائر ) menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency
di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan
cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”
/ Dalam literatur klasik keadaan emergency
ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak
ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan
darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan ;
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1)
tidak menginginkan dan (2) tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya
Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 173)
Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al qawaid al fiqhiyah seputar kadar darurat.
/ Sesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaedah.
الضرورات تقدر بقدرها
“Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan
ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam
maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga
seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak
boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika
dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.
Berlipat Ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah
berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar
saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas
surat Ali Imran ayat 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan
riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya
kalian mendapat keberuntungan.”
Sepintas, surat Ali Imran 130 ini memang hanya melarang
riba yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat ter-sebut secara
cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara
komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara
menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk
dan jenisnya mutlak diharamkan.
/ Kriteria berlipat-ganda dalam ayat
ini harus dipahami sebagai hal (حال) atau sifat dari riba, dan sama
sekali bukan merupakan syarat.
Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka riba, jikalau kecil tidak riba.
/ Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah
Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978,
menegaskan kerapuhan asumsi syarat
tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik (ضعف) arti “kelipatan”.
Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara
(اضعاف) adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3.
Dengan demikian (اضعافا) bararti 3×2=6 kali. Sementara (مضاعفا) dalam
ayat adalah ta’kid (للتأكيد) untuk penguatan.
Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat,
maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga
600 %. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi
dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.
/ Menanggapi pembahasan Q.S. Ali Imran ayat 130 ini, Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, menegaskan ;
“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran,
termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai dalil, sama
sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini
menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai
kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya
waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum
dari riba dalam terminologi syara (Allah dan rasul-Nya).”
/ DR. Sami Hasan Hamoud menjelaskan
bahwa, bangsa Arab di samping melakukan pinjam-meminjam dalam bentuk
uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa
meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).
Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan supply and demand
(permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun
bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.
Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaedah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali Imran 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam,
konteks antar-ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda
Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu.
/ Di atas itu semua harus pula
dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali Imran diturunkan pada
tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al
Baqarah yang turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada
ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk,
ukuran, kadar, dan jenis riba.
Badan Hukum dan Hukum Taklif
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba
turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga
keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank
Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat
Nabi hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis ;
a) Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah
tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani
menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak
penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke
lembaran negara.
b) Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah (شخصية حكمية). Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat
melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang
pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam
memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang
tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah
naifnya bila kita menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak
dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf. Memang ia bukan
insan mukallaf tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan
berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara
seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang
mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau
kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi, negara, bahkan
global. Wallahu a’lam bish showab
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Muh. Ihsan Hadi,
dalam
http://www.almukmin-ngruki.com/index.php?option=com_content&view=article&id=251:antara-bunga-dan-riba&catid=47:majalah&Itemid=67)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)