BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan
eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama
dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu
menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional.
Terbukti, krisis 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan
banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Berbanding
terbalik dengan bank muamalat yang justru mampu bertahan dari badai
krisis tersebut dan menunjukan kinerja yang meningkat.
Hal
inilah yang mendorong mulai dilirik system ekonomi syariah sebagai
salah satu alternative bagi system ekonomi Indonesia. Bahkan apabila
ekonomi syariah diterapkan secara maksimal didukung oleh instrumen
keuangan dan produk- produk hukum yang memayungi, akan mampu membawa
Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi yang berbasis kerakyatan.
Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat mulai
dari pemerintah maupun masyarakat sebagai pelaku dan user.
Dukungan
pemerintah dalam hal ini ditandai dengan adanya UU No 19 Tahun 2008
Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, adanya Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang
Perbankan Syariah, dan juga adanya Forum
komunikasi Ekonomi Syariah, Masyarakat ekonomi syariah dan
penyelenggaraan berbagai festival ekonomi syariah. yang diselenggarakan
oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia.
Tumbuhnya
bank-bank syariah atau unit usaha syariah merupakan upaya yang
dilakukan oleh bank plat merah maupun swasta untuk mendukung
perkembangan system ini. Pertumbuhan asset yang dimiliki oleh perbankan
syariah sampai dengan Juli 2008 hingga Maret 2009 tercatat 5 bank umum
syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS) , dan 133 bank perkreditan
rakyat syariah (BPRS) dengan Total kantor BUS dan UUS telah mencapai 888
kantor.
Kemudahan
dan pelayanan menjadi ujung tombak untuk mengajak masyarakat turut
serta mengembangkannya. Seperti Bank Muamalat yang bekerjasama dengan
kantor pos untuk produk shar-e, dan atm dengan bank BCA yang notabene
mempunyai ATM terbanyak dan tersebar diseluruh penjuru Indonesia.
Tentunya,
tak dapat dipungkiri keinginan untuk menumbuh-kembangkan ekonomi
syariah harus sejalan dengan kemampuan sumber daya insani yang saat ini
masih relative belum banyak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi
syariah dan sebagian besar dari mereka yang
bekerja pada bank syariah berasal dari bank konvensional. Penyerapan
sumber daya insani berdasarkan data Bank Indonesia per Maret 2009
terdapat 7000 orang yang bekerja pada Bank umum Syariah, 2.178 orang
pada Unit usaha Syariah dan 2.644 orang di BPRS.
Didukung penduduknya yang sebagian besar muslim bahkan terbesar didunia dan pemenuhan perangkat yang dibutuhkan, diharapkan perkembangan ekonomi syariah lebih maju seperti halnya negara sahabat Malaysia dan Singapore yang terlihat lebih agresif.[1]
Dan pastinya di dalam akad-akad kegiatan yang dilakukan oleh bank
syariah menerapkan perjanjian, dimana perjanjian tersebut harus
berlandaskan syariah.
2. Rumusan Masalah
2.1 Apa pengertian hukum perjanjian syariah itu?
2.2 Bagaimanakah pelaksanaan hukum perjanjian syariah itu dalam perbankan syariah?
3. Tujuan
3.1 Dapat mengetahui pengertian hokum perjanjian syariah.
3.2 Dapat mengetahui pelaksanaan hokum perjanjian syariah di dalam perbankan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Perjanjian Syariah
Merupakan
suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis,
sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berkepentingan.[2]
Dalam
fiqh muamalah, pengertian kontrak pejanjian masuk dalam bab pembahasan
tentang akad. Pengertian akad (al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan
sebagai perikatan atau perjanjian.[3]
Jadi,
yang dimaksud dengan Hukum kontrak syariah adalah hokum yang mengatur
perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis
berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak
yang berkepentingan.[4]
2. Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah dalam Perbankan Syari’ah
Bank
Syariah di Indonesia didirikan pada tahun 1992, pemerintah telah
membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur dalam UU
No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan. Dalam pasal 1 angka 3, disebutkan pengertian bank
umum adalah “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensionala
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Sedangkan, yang dimaksud dengan
prinsip syariah, disebutkan dalam pasal 1 angka 13, yaitu “aturan
perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah”. Di Indonesia berlaku dua
sistem perbankan, yaitu sistem konvensional yang menggunakan sistem
bunga dan sistem syariah yang berlandaskan pada ketentuan Islam.[5]
Kegiatan
usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah diatur dalam pasal 36
Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Kegiatan-kegiatan itu antara
lain sebagai berikut:[6]
a. Penghimpunan Dana
© Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
Giro
adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu
dengan menggunakan cek atau alat sejenis lainnya. Pada dasarnya, wadi’ah
merupakan akad titipan yang tidak memberikan wewenang kepada penerima
titipan untuk menggunakan benda yang dititipkan. Penerima titipan berhak
untuk mendapatkan upah untuk itu. Bagi bank yang menjadi pihak yang
menerima titipan dengan seijin nasabahnya sebagai pihak yang menitipkan,
bank dapat menggunakan dana milik nasabah dengan menjamin, bahwa bank
akan mengembalikan dana itu secara utuh. Bank memiliki tanggung jawab
atas segala resiko yang terjadi pada dana tersebut. Dalam kondisi
titipan seperti ini, titipannya disebut dengan wadi’ah yad adh-dhamanah. Sedangkan untuk titipan yang penerima titipan tidak berhak untuk menggunakan benda titipan disebut dengan wadi’ah yad al-amanah. Dari proses wadi’ah yad adh-dhamanah
ini, tentunya bank tidak memperoleh upah dari nasabah atas jasa
titipannya, tetapi ia berhak mendapatkan semua keuntungan yang diperoleh
dari hasil penggunaan dana nasabah tersebut. Sedangkan bagi nasabah,
selain ia mendapatkan jaminan keamanan terhadap dananya, biasanya ia
memperoleh intensif dari bank. Pemberian intensif oleh bank tidak
diperjanjikan diawal akad dan jumlahnya tidak ditetapkan terlebih dulu.[7]
© Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah
Tabungan
adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu
oleh nasabah dengan menggunakan buku tabungan atau alat lainnya tetapi
tidak menggunakan cek. Prinsip wadi’ah pada tabungan digunakan sama
halnya dengan produk giro yang telah diuraikan diatas.
Prinsip
mudharabah pada tabungan adalah antara nasabah dan bank mengadakan akad
mudharabah, yaitu nasabah menyimpan sejumlah dana kepada bank untuk
dikelola oleh bank. Dalam hal ini, hasil yang diperoleh dari pengelolaan
dananya akan dibagikan kepada nasabah sebagai pemilik dana (shahibul
maal) dan bank sebagai pengelola dana (mudharib). Besar bagi hasil
(nisbah) tersebut telah disepakati di awal akad.[8]
© Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
Deposito
berjangka merupakan penyimpanan dana oleh nasabah kepada bank dengan
ketentuan waktu penarikan dana adalah dalam jangka waktu tertentu sejak
penyetoran dananya, seperti 30 hari, 90 hari, dan sebagainya. Dalam hal
ini, perikatan yang digunakan adalah mudharabah. Nasabah sebagai
shahibul maal dan bank sebagai mudharib saling terikat untuk melakukan
bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan di awal akad.[9]
b. Penyaluran Dana
1) Prinsip Jual Beli
§ Murabahah
Yaitu
jual-beli dengan adanya tambahan dari harga asal. Nasabah yang memiliki
kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan permohonan kepada Bank
Syariah untuk membeli benda tersebut. Benda yang telah dibeli oleh
bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang
lebih tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya didasarkan
pada kesepakatan diantara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh
nasabah biasanya dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk
membayar secara tunai. Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan
barang-barang investasi seperti melalui letter of credit (L/C) dan pembiayaan persediaan sebagai modal kerja.[10]
§ Istishna
Bank
sebagai penjual (shani’) mendapat pesanan dari nasabah sebagai pembeli
(mustashni’) dengan cara pembayaran dimuka, secara angsuran, atau
ditangguhkan pada waktu tertentu. Barang yang dibutuhkan oleh nasabah
tidak seketika itu ada, tetapi harus dilakukan proses pembuatannya
terlebih dahulu. Bank akan melakukan pemesanan kembali kepada perusahaan
industri untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam
hal jual beli yang kedua ini disebut juga dengan istishna parallel.
Keuntungan yang diperoleh oleh bank adalah berupa selisih harga dari
nasabah dengan harga jual kepada pembeli. Model perikatan istishna bisa
dilakukan pada pembiayaan persediaan (inventory financing) sebagai modal
kerja.[11]
§ Salam
Salam
hamper sama dengan istishna. Pembayaran harga pada salam dilakukan pada
saat akad dilakukan. Sifat akad dari salam adalah mengikat secara asli
(thabi’i), yaitu mengikat semua pihak sejak awal. Pada perikatan salam,
nasabah berkedudukan sebagai pembeli (muslam), sedangkan bank sebagai
penjual (muslam ilaih). Bank juga dapat melakukan salam paralel dengan
produsen. Pada salam paralel bank adalah muslam dan produsen adalah
muslam alaih.[12]
2) Prinsip Bagi Hasil
ª Mudharabah
Bank
dan nasabah dapat melakukan kerjasama dalam mengadakan suatu usaha.
Dalam mudharabah, bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) menyediakan
sejumlah dana untuk suatu usaha yang akan dikelola oleh nasabah
(mudharib). Pada awal akad, keduanya telah menyepakati nisbah yang akan
dibagikan dari hasil keuntungan yang diperoleh dari usahanya.[13]
Jenis mudharabah yang dapat digunakan adalah mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayyadah. Dalam mudharabah mutlaqah, pihak pemodal tidak
berhak mengelola persekutuan secara mutlak. Namun pihak mudharib lah
yang berhak mengelola, sebab mudharabah merupakan percampuran antara
badan pengelola (pekerja) dengan modal, tetapi bukan pemilik modal.
Sehingga pemodal layaknya pihak yang berada di luar persekutuan.[14]
Mudharabah
muqayyadah adalah akad syirkah yang mengharuskan pekerja (mudharib)
untuk mengikuti ketentuaan maupun pengarahan yang ditetapkan oleh
pemilik modal (shahibul maal) dalam mengelola usaha. Dengan demikian,
dalam persekutuan mudharabah ini, kewenangan yang diberikan kepada pihak
mudharib bersifat terbatas.[15]
ª Musyarakah
Syirkah yaitu akad perjanjian antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.[16]
Dalam kerjasama ini masing-masing pihak (bank dan nasabah) memberikan
kontribusi dana untuk suatu usaha tertentu dengan keuntungan dan resiko
yang terjadi akan ditanggung bersama. Aplikasinya dalam perbankan,
musyarakah dapat dipergunakan untuk pembiayaan proyek dan juga pemiayaan
modal ventura.[17]
3) Prinsip Sewa menyewa
Ճ Ijarah
Ijarah
adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya
tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya
peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang
disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti
kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga
berupa karya pribadi seperti pekerja.[18]
Dalam praktik, biasanya disebut dengan operational lease,
yaitu bank menyewakan barang yang dibutuhkan nasabah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan usahanya. Nasabah memiliki kewajiban membayar harga
sewa kepada bank.[19]
Ճ Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT)
Sering
kali barang yang disewakan kepada nasabah akan merepotkan bank dalam
hal pemeliharaanya. Oleh karena itu, bank dapat memberikan opsi kepada
nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah masa sewa telah
berakhir. Hal ini yang diaplikasikan dalam bentuk financial lease with purchase option, baik dalam bentuk pembiayaan produktif berupa investasi maupun pembiayaan konsumtif.[20]
4) Prinsip Pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
Utang
piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian
dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya menghutang uang
Rp50.000,- akan dibayar Rp50.000,- pula.[21]
Perikatan jenis ini bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan
yang mencari untung (komersil). Oleh karena itu, bank hanya akan
mendapatkan kembali sejumlah modal yang diberikan kepada nasabah. Bank
syariah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk sebagai berikut:[22]
h Sebagai dana talangan untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan mengembalikannya dengan cepat, seperti compensating balance dan factoring (anjak piutang).[23]
h Sebagai
fasilitas untuk memperoleh dana cepat karena nasabah tidak bisa menarik
dananya, misalnya karena tersimpan dalam deposito.
h Sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau sosial.
5) Jasa Pelayanan
v Wakalah
Berwakil
ialah menyerahkan pekerjaan yang dikerjakan kepada yang lain, agar
dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang berwakil).[24]
Perwakilan merupakan bentuk pemberian kuasa kepada pihak lain untuk
melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam pasal 1792 KUH Perdata, yang
dimaksud pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang
memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan.[25]
Bank
syariah disini sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa
(muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini bank akan
mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai
contoh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan
listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh
lainnya adalah bank mewakili sekolah atau universitas sebagai penerima
biaya pembayaran SPP dari para pelajar atau mahasiswa untuk biaya studi.[26]
v Hawalah
Hiwalah ialah memindahkan hutang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain.[27]
Hiwalah disyari’atkan untuk memberikan kemudahan bagi hamba-hambaNya
dalam kehidupan muamalah. Melalui akad hiwalah, memungkinkan seseorang
yang mengalami kesulitan untuk mengalihkan sesuatu yang masih menjadi
tanggungannya (hutang) kepada pihak lain.[28]
Dalam praktiknya, perikatan ini biasanya dilakukan pada produk perbankan berikut ini:[29]
a) Factoring
atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada
pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar
piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b) Post dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c) Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.
v Kafalah
Menurut
Pasal 612 HUH Perdata Islam hak jaminan (kafalah) adalah suatu bentuk
penambahan kewajiban kepada suatu tanggungan yang berkaitan dengan
adanya permintaan atas barang tertentu; artinya seseorang menggabungkan
dan mengikatkan dirinya kepada orang lain, dengan sesuatu yang berkaitan
dengan adanya penambahan kewajiban bagi orang lain tersebut.[30]
Pada perikatan ini, bank berkedudukan sebagai pemberi jaminan (kafiil) atas nasabahnya (makful),
kemudian nasabah akan mendapatkan upah atas jasanya tersebut selain
harus mengembalikan dana yang telah dikeluarkan oleh bank kepada
penerima jaminan. Contohnya, kafalah dapat dilaksanakan pada performance bonds atau jaminan prestasi.[31]
v Rahn
Perjanjian
gadai adalah merupakan perjanjian dua pihak, yaitu orang yang berhutang
(debitur), pemberi gadai, yaitu orang yang menyerahkan benda yang
dijadikan objek perjanjian gadai serta orang yang berpiutang atau
pemegang gadai (kreditur).[32]
Rahn
merupakan perikatan pemberian jaminan yang diberikan oleh nasabah atas
pinjamannya dari bank. Dalam bank syari’ah, rahn dapat digunakan sebagai
produk pelengkap dan produk tersendiri. Produk pelengkap itu yaitu pada
saat nasabah melakukan perikatan dalam bentuk lain (seperti mudharabah,
murabahah, dan lainnya), maka bank dapat meminta nasabah untuk
menyerahkan jaminan. Sebagai produk tersendiri, yaitu sering kali
dikenal dengan istilah gadai. Nasabah yang membutuhkan biaya dapat
menggadaikan barang miliknya. Barang ini kemudian dapat dinilai
harganya, sehingga bank dapat memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai
dengan nilai barang gadai tersebut. Dalam hal ini, bank akan memperoleh
keuntungan berupa biaya penitipan dan pemeliharaan atas barang gadai
tersebut. Apabila pinjaman telah lunas, maka barang gadai akan
dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan.[33]
BAB III
PENUTUP
© Kesimpulan
Hukum
kontrak syariah adalah hokum yang mengatur perjanjian atau perikatan
yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah,
sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.
Bank
Syariah di Indonesia didirikan pada tahun 1992, pemerintah telah
membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur dalam UU
No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank
syariah diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No.
6/24/PBI/2004.
Kegiatan-kegiatan
usaha yang dapat dilakukan oleh bank syari’ah itu antara lain sebagai
berikut: Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, transaksi
giro berdasarkan prinsip wadi’ah, deposito berjangka berdasarkan prinsip
mudharabah, murabahah, istishna, salam, mudharabah, musyarakah
(syirkah), ijarah, Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT), qardh, wakalah,
hawalah, kafalah, dan rahn (gadai). Dimana kegiatan-kegiatan usaha yang
dapat dilakukan oleh bank syariah itu memiliki pelaksanaan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
S, Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Lubis, Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Dewi, Gemala. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2002. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press
Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
http://www.islamic-center.or.id/berita-mainmenu-26/islamindonesia-mainmenu-33/823-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia-. 3/04/2010. 12:19 WIB
[1] http://www.islamic-center.or.id/berita-mainmenu-26/islamindonesia-mainmenu-33/823-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia-, diakses pukul 12.19 WIB
[2] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 11
[3] Ibid, hlm 12
[4] Ibid, hlm 12
[5] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 154
[6] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 155
[7] Ibid, hlm 155
[8] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 156
[9] Ibid, hlm 156
[10] Ibid, hlm 156-157
[11] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 157
[12] Ibid, hlm 157
[13] Ibid, hlm 158
[14] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 116
[15] Ibid, hlm 116
[16] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 74
[17] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 158
[18] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 52
[19] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 158-159
[20] Ibid, hlm 159
[21] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 306
[22] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hlm 133
[23] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hlm 162 dan 163
[24] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 320
[25] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 147
[26] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 159-160
[27] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 312
[28] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 139
[29] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160
[30] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 153
[31] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160
[32] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 139
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)