Wacana tentang pengentasan kemiskinan hingga detik ini masih menjadi
wacana yang menarik. Karena, kita harus mengakui dengan
sejujur-jujurnya, bahwa implementas gagasan tentang pengentasan
kemiskinan itu belum sampai pada ‘titik’ sasaran yang tepat. Bahkan,
pemerintah pun hingga kini bisa kita katakan belum berhasil melaksanakan
program pengentasan kemiskinan yang sesungguhnya, utamanya kemiskinan
dalam pengertian ekonomi. Padahal, kalau kita pahami lebih mendalam,
kemiskinan itu bukan sekadar ‘tidak memiliki harta atau kurang cukup
dalam memenuhi kebutuhan ekonominya’. Tetapi, meminjam istilah para
ulama hadis, “ketidakmampuan untuk mensyukuri nikmat”, dalam pelbagai
perspektif, dan seluruh pengertian yang terkait dengan kebutuhan hidup
manusia.
Tulisan berikut adalah hasil kutipan dan penyelarasan dari tulisan
Iman Sugema (Senin, 11 September 2006) dan Irfan Syauqi Beik yang pernah
dimuat dalam harian Republika, mulai tahun 2008-2011.
Iman Sugema (2006) berkisah:
Seorang janda membujuk dua anaknya yang sedang menangis kelaparan
supaya tidur. ”Anakku, tidurlah, ibu sedang memasak makanan. Nanti
kalau sudah siap, ibu bangunkan.” Ibu tersebut berulang kali mengucapkan
kata-kata tersebut sambil mengusap-ngusap perut anaknya yang
keroncongan. Saat itu, Khalifah Umar ibn al-Khaththab yang sedang
berkeliling melakukan inspeksi kebetulan lewat rumah tersebut dan
mendengarkan jeritan kedua anak tersebut. Beliau mengetuk pintu dan
menyamar sebagai rakyat biasa.
Ibu tersebut membukakan pintu setelah anaknya tidur. Sang
khalifah bertanya mengapa kedua anak tersebut disuruh tidur, padahal
mereka minta makan. Sang perempuan menjawab, ”Aku sama sekali tak bisa
memberi mereka makan, dan yang sedang kumasak adalah sebongkah batu agar
anak-anakku mengira akan punya makanan setelah bangun nanti. Ini semua
salah Khalifah Umar yang tidak pernah peduli dengan nasib orang miskin
seperti kami.”
Batin sang khalifah begitu tertekan mendengar ucapan wanita
tersebut, dan membayangkan bagaimana pertanggungjawaban dia di hadapan
Allah kelak. Tanpa berkata-kata, kemudian ia mengambil sekarung gandum
dan daging dari rumahnya. Kemudian ia memasak makanan di rumah wanita
tersebut. ”Sekarang, bangunkanlah anak-anakmu dan makanlah bersama
mereka,” pinta sang khalifah. Kemudian perempuan tersebut berucap, ”Ya
Allah, seandainya kami punya khalifah sebaik orang ini tentu tak akan
ada orang yang kelaparan seperti kami.” Sang khalifah hanya tersenyum,
dan kemudian pergi berpamitan. Si perempuan tidak pernah tahu bahwa pria
baik hati tersebut adalah sang khalifah yang ia idamkan.
Dari cerita tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik.
Pertama, kaum fakir miskin merupakan
tanggung jawab pemimpin bangsa. Kelak para pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban tidak hanya oleh rakyatnya sendiri tetapi juga di
hadapan Tuhan. Keyakinan seperti ini akan menumbuhkan pemimpin yang
memiliki empati yang besar terhadap nasib kaum tertindas.
Saat ini di negara kita, jumlah orang miskin meningkat dari 16 persen
menjadi 17,75 persen dalam setahun terakhir. Peningkatan seperti ini
tentu seharusnya membangkitkan kesadaran di antara para pemimpin bangsa
kita bahwa lebih seperenam dari penduduk Indonesia masih memerlukan
uluran tangan dari negara.
Kemiskinan, sepeti kata Amartya Sen — pemenang hadiah Nobel bidang
ekonomi — adalah salah satu bentuk ketertindasan dan ketidakberdayaan.
Karena miskin, mereka kelaparan dan kurang gizi. Karena itu mereka tidak
memiliki energi yang cukup untuk bekerja secara produktif. Mereka juga
merupakan golongan yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit yang
secara finansial mereka tak mampu untuk membeli obatnya. Anak-anak
mereka tidak disekolahkan secara memadai sehingga sulit untuk
mendapatkan mata pencarian yang layak.
Singkatnya, kemiskinan adalah sebuah jebakan penderitaan yang orang
miskin sendiri sulit untuk mengatasinya. Karena itu, adalah tanggung
jawab negara untuk mengangkat mereka dari kemiskinan.
Kedua, seorang pemimpin sangat penting
mengetahui keadaan sesungguhnya yang dihadapi oleh rakyat. Khalifah Umar
secara rutin melakukan penyamaran untuk melihat-lihat kondisi
rakyatnya. Ia tahu betul bahwa sebagian orang terdekatnya selalu
melaporkan hal-hal yang baik saja–asal bapak senang.
Tentu, untuk negara seperti Indonesia yang berpenduduk 223 juta orang
dan memiliki wilayah yang amat luas, adalah hampir tidak mungkin bagi
seorang presiden untuk mengetahui kondisi ekonomi setiap keluarga satu
per satu. Esensinya adalah bahwa presiden harus memiliki informasi yang
akurat mengenai jumlah orang miskin dan mengapa mereka menjadi miskin.
Adalah sangat disayangkan ketika segelintir menteri dan orang
dekatnya justru berupaya menutupi data kemiskinan. Mereka berusaha
meyakinkan presiden bahwa tingkat kemiskinan telah turun. Padahal,
kenyataannya jumlah orang miskin meningkat. Tindakan mereka merupakan
ketidakberadaban yang jauh lebih kejam daripada korupsi. Data yang salah
bisa mengakibatkan kebijakan yang salah, sehingga kemudian orang miskin
mati tidak tertolong.
Ketiga, menangani orang miskin harus
merupakan inisiatif dari pemimpin negara. Khalifah Umar dengan segera
mengambil dan memasak makanan untuk si miskin. Untuk kasus Indonesia, di
mana ada sekitar 39,4 juta orang miskin, adalah tidak mungkin bagi
presiden untuk turun tangan sendiri.
Esensinya adalah bagaimana pemimpin negara mempunyai komitmen yang
kuat dari dirinya sendiri untuk menghapuskan kemiskinan. Selanjutnya,
harus ada jaminan bahwa komitmen tersebut akan betul-betul terwujud di
lapangan. Tentu komitmen tersebut harus diterjemahkan dalam bentuk
kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat, dilaksanakan oleh
orang-orang yang amanah dan didanai dengan anggaran yang memadai.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, adalah sangat sulit untuk
mengharapkan para pembantu presiden bisa bekerja keras menolong orang
miskin. Mengelabui presiden dengan data yang salah adalah sebuah
cerminan bahwa mereka tidak mau dan tidak mampu menyelesaikan masalah
kemiskinan.
Membiarkan rakyat mati dalam kemiskinan adalah sebuah kegagalan
kebijakan pemerintah. Dalam tingkatan tertentu, sebuah kegagalan dan
kesalahan bisa kita maafkan. Tapi mebohongi presiden dan rakyatnya
adalah sebuah tindakan yang tidak termaafkan.
Ada sebuah pernyataan tendensius yang disampaikan oleh seorang
pengamat intelijen yang mencoba mengait-ngaitkan pengumpulan dana zakat,
infak, dan sedekah dengan aktivitas pendanaan kegiatan terorisme (Republika,
9 Juli 2008). Itu sangat menyinggung perasaan umat Islam dan bangsa
Indonesia secara keseluruhan, apalagi pernyataan tersebut lebih
didasarkan pada prasangka pribadi, tanpa mampu membuktikan dengan data
dan fakta yang sebenarnya.
Yang bersangkutan pun kemudian mengaku khilaf dan meminta maaf secara
terbuka kepada umat Islam. Sebagai Muslim, tentu kita harus memberi
maaf karena itu sikap yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah
SAW. Jika melihat kenyataan yang ada, pada sebagian kecil masyarakat
terlihat adanya upaya untuk melihat perkembangan ekonomi syariah yang
luar biasa ini dalam perspektif ideologis semata. Belum lepas dari
ingatan kita bagaimana sebuah fraksi dengan alasan ideologis yang
mengada-ada menolak menyetujui dan mengesahkan undang-undang tentang
surat berharga syariah negara dan perbankan syariah.
Sementara itu Irfan Syauqi Beik (2008) mengemukakan, bahwa sebuah
pernyataan yang berangkat dari persepsi yang sempit dan penuh dengan
praduga yang tidak benar. Padahal, di negara-negara yang notabene bukan
negara Islam, seperti Inggris dan Singapura, ekonomi dan keuangan
syariah telah menjadi garapan baru yang menguntungkan. Pemerintah mereka
menunjukkan keseriusan sangat luar biasa.
Inilah barangkali yang menjadi salah satu permasalahan mendasar pada
sebagian komponen bangsa ini, yaitu terlalu sering memandang sebuah
persoalan dari sudut pandang yang sempit. Padahal, ekonomi syariah
merupakan instrumen yang memiliki potensi besar yang jika dikelola
dengan baik akan menghasilkan manfaat yang sangat besar bagi
kesejahteraan bangsa. Mengubah cara pandang masyarakat terhadap ekonomi
syariah dari pandangan ideologis semata menjadi pandangan yang lebih
luas spektrumnya merupakan pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan
ekonomi syariah yang harus mendapat perhatian yang serius.
Meningkatkan Sosialisasi
Munculnya pernyataan semacam itu menurut hemat penulis memberikan
beberapa pelajaran penting karena boleh jadi pernyataan senada akan
muncul di lain waktu. Pelajaran yang paling utama yang bisa kita petik
adalah sosialisasi zakat, infak, dan sedekah (ZIS) harus terus
dilakukan.
Masyarakat harus diberikan proses penyadaran secara berkelanjutan
melalui proses sosialisasi yang bersifat komprehensif, antara lain
mencakup sosialisasi makna dan hakikat zakat, aturan kelembagaan
termasuk masalah audit dan pengawasan, dan sosialisasi ogram.Terkait
dengan makna dan hakikat zakat harus disadari bahwa pemahaman sebagian
masyarakat tentang zakat masih kurang tepat. Bahkan, di beberapa daerah
masih banyak orang mengasosiasikan zakat hanya dengan zakat fitrah
sehingga mereka tergerak mengumpulkan zakat hanya pada bulan Ramadhan
hingga menjelang Shalat Idul Fitri.
Mereka masih belum menyadari pada setiap jenis pekerjaan dan
aktivitas ekonomi yang menghasilkan harta dan pendapatan jika melebihi
nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kemudian, masih ada sebagian
ulama yang berpendapat zakat profesi adalah bid’ah sehingga
tidak perlu dikembangkan karena dianggap bertentangan dengan syariat
Islam. Padahal, potensi zakat profesi ini sungguh luar biasa. Belum satu
frekuensinya pemahaman masyarakat merupakan salah satu tantangan utama
pembangunan zakat ke depan.
Hal lain yang perlu disosialisasikan adalah mengenai konsep zakat
dalam perspektif makro. Salah satu konsep yang berkembang saat ini,
terutama di Barat, adalah konsep sharing economy, yaitu
menjadikan semangat berbagi sebagai landasan memperkuat sebuah
perekonomian. Yochai Benkler, seorang profesor sekolah hukum Universitas
Yale AS, menyatakan konsep berbagi merupakan sebuah modalitas yang
sangat penting untuk memacu dan meningkatkan produksi dalam ekonomi. Ia
bahkan menyatakan perusahaan yang mengembangkan konsep berbagi dalam
interaksi antarkomponen di dalamnya akan menjadi lebih efisien
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau menerapkannya. Sebagai
contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus akan jauh lebih
baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah
mendapatkannya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Asad Zaman, seorang profesor Ekonomi Syariah pada International Islamic University
Pakistan, yang mengatakan pentingnya semangat berbagi dan memberi
sebagai inti yang akan menggerakkan perekonomian sebuah bangsa. Dalam
bahasa yang lebih gamblang, Swiercz dan Patricia Smith dari Universitas
Georgia AS, menegaskan solusi terbaik menghadapi berbagai permasalahan
tradisional resesi ekonomi, sebagaimana yang saat ini mengancam AS,
adalah diperlukannya semangat dan mekanisme berbagi antarkomponen dalam
sebuah perekonomian.
Semangat berbagi inilah yang akan dapat mempertahankan level
kemakmuran sebuah perekonomian. Mereka menyimpulkan ada korelasi yang
sangat kuat antara memberi dan berbagi dengan tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan.Kajian tersebut memberikan gambaran bahwa zakat bukanlah
semata-mata mengeluarkan sebagian harta, tetapi telah menjadi sebuah
sistem dan mekanisme berbagi yang tepat dan efektif. Melalui berbagi,
kesejahteraan dan keberkahan hidup akan diraih. Berangkat dari pemahaman
inilah, ustadz Yusuf Mansur, seorang dai muda, ketika menjadi pembicara
pada pengajian akbar masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur beberapa
waktu lalu mengungkap sebuah konsep yang sangat luar biasa, yaitu
matematika sedekah.
Terinspirasi dari sejumlah ayat Al-Quran, seperti QS al-An’âm, 6: 160,
مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن
جَاء بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ
يُظْلَمُونَ
”Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala)
sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan
jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
dan juga berdasarkan pengalaman pribadinya, beliau menyatakan jika
seseorang memiliki uang Rp 1 juta dan kemudian menyedekahkan Rp 500 ribu
di jalan Allah, hartanya tidak akan berkurang menjadi Rp 500 ribu,
melainkan akan bertambah menjadi Rp 5,5 juta. Menurut beliau, harta yang
diinfakkan berdasarkan ayat tersebut, akan dibalas 10 kali lipat oleh
Allah sehingga akan menjadi Rp 5 juta. Sebuah logika matematika sedekah
yang sangat sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam karena untuk
memahami dan meyakininya diperlukan keimanan dan keyakinan yang kuat
kepada Allah SWT.
Kelembagaan dan Program
Yang perlu terus disosialisasikan adalah aturan kelembagaan dan
program pendayagunaan zakat. Dalam UU No 38/1999 dijelaskan bahwa di
antara bentuk pertanggungjawaban kinerja sebuah badan atau lembaga amil
zakat adalah kewajiban diaudit oleh akuntan publik. Ini untuk
menunjukkan bahwa lembaga pengelola zakat tidak boleh main-main dalam
mengelola zakat.
Bahkan, ada ancaman hukuman bagi lembaga pengelola zakat yang tidak
amanah, yaitu kurungan penjara maksimal tiga bulan dan atau denda
maksimal Rp 30 juta. Kemudian, sosialisasi program, terutama
pendayagunaan zakat. Dapat dikatakan pendayagunaan ujung tombak dan inti
utama pengelolaan zakat. Bagaimana zakat dapat disalurkan dan
didistribusikan melalui berbagai program yang bermanfaat bagi para
mustahik, terutama fakir miskin. Program-program tersebut ada yang
bersifat konsumtif dan ada yang bersifat produktif, bergantung pada
situasi dan kondisi mustahik.
Yang juga tidak kalah penting perlunya diciptakan parameter
keberhasilan program. Indikator-indikator, seperti seberapa besar zakat
mampu mengurangi jumlah orang miskin, mengurangi tingkat kedalaman
kemiskinan, dan tingkat keparahan kemiskinan, perlu dibuat dan
dikembangkan. Dengan begitu, lembaga pengelola zakat dan juga
masyarakat, akan memiliki panduan dan alat evaluasi yang jelas.
Melalui sosialisasi program ini masyarakat terutama calon muzakki,
diharapkan semakin tertarik menyalurkan zakatnya kepada BAZ dan LAZ yang
ada. Masyarakat pun dapat mengawasi kinerja dan performa lembaga zakat,
apakah mereka amanah dan profesional atau tidak. Dengan proses yang
berjalan seperti itu, insya Allah penulis yakin bahwa kecurigaan dan
kekhawatiran ada aliran dana zakat untuk kegiatan terorisme dapat
dihilangkan.
Solusi lain harus mulai kita kampanyekan secara lebih intensif adalah
menggali sumber dana pembangunan melalui wakaf tunai. Inilah sebenarnya
‘raksasa’ yang jika bangkit, perekonomian nasional bakal segera
menggeliat dan memerdekakan dirinya dari belenggu kapitalisme global.
Wakaf Tunai
Sesungguhnya jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan
merupakan instrumen baru. Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam
sejarah Islam. Sebagaimana dikutip Didin Hafidhuddin, Imam Az-Zuhri
(wafat tahun 124 H.) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan
dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham, untuk
pembangunan sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Kemudian,
istilah wakaf tunai tersebut kembali dipopulerkan oleh MA Mannan,
seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf.
Sebenarnya, wakaf tunai itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana
abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan masyarakat. Selama ini,
masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan.
Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik.
Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk
bersadaqah jariyah dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus
menunggu menjadi tuan tanah atau saudagar kaya. Orang bisa berwakaf
hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan
oleh institusi pengelola wakaf (nadzir). Hal tersebut berbeda dengan
zakat, di mana untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang di antaranya adalah hartanya harus melebihi nishab.
Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan
diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan
produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan
umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat
Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap
bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun.
Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana
wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu potensi yang luar biasa.
Fakta pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan
dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang
signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al-Azhar Mesir, PP Modern
Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya.
Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun
tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar,
dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per
lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan
profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada
di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic
Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang
melalui program Income Generation Waqf.
Melihat potensinya yang luar biasa, pemerintah hendaknya mulai
memikirkan secara serius upaya untuk menggali potensi ZIS dan wakaf
tunai ini. Kita beruntung bahwa Indonesia telah memiliki – misalnya — UU
No 41/2004 tentang Wakaf. Namun demikian, hal tersebut belumlah cukup,
apalagi Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai amanat UU tersebut belum
juga terbentuk. Dan hal ini sangat berbeda dengan ZIS yang sudah
direspon positif untuk umat Islam, mislnya dengan pendirian lembaga
‘Amil Zakat.
Epilog
Berpijak dari uraian di atas, menurut penulis, ada tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, hendaknya kampanye dan sosialisasi wakaf tunai, di samping ZIS (Zakat, Infak dan Shadaqah) lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur Lazis dan BWI sebagai lembaga nadzir negara. Ketiga,
mendorong bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk
mengintensifkan gerakan ZIS dan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan
kemiskinan nasional.
Inilah esensi ”Dakwah bil Hal” (atau tepatnya: ad-da’wah bi lisânil hâl) yang kini harus menjadi prioritas, sebagaimana yang – antara lain – diimplementasikan oleh Amîrul Mu’minîn
Umar ibn al-Khaththab. Bahkan persoalannya kini tak sesederhana
(persoalan) kemiskinan di zaman beliau (kekhalifahan Umar ibn
al-Khaththab). ”Kemiskinan” yang kini menjadi persoalan dakwah terjadi
bukan hanya karena faktor subjektif (internal) para fakir-miskin di
belahan dunia ini (termasuk di negeri kita tercinta, Indonesia), tetapi
lebih jauh dari itu, lebih banyak terjadi karena persoalan objektif
(eksternal) yang terjadi karena tengah (dan tampaknya akan terus
berkelanjutan) berlakunya sistem dan budaya despotis-otoritarianistik
yang didukung oleh para pemimpin yang seharusnya segera ’tanggap’ untuk
berbuat sesuatu kepada rakyatnya, tetapi – dengan sikap arogan dan
ketamakannya – justeru semakin memperparah keadaan.
Mudah-mudahan ancaman Allah dalam QS al-Isrâ’, 17: 16 tidak terjadi pada umat Islam dan – utamanya – di negeri kita tercinta,
وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا
مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ
فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu,
maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami),
Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Iman Sugema dalam Republika [Senin, 11 September 2006] dan tulisan berseri dari Irfan Syauqi Beik di beberapa edisi Republika, mulai tahun 2008-2011)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)