Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa
jauh berbeda. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-299
Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA 1
Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil
tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman.
Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau
sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.
Dr. Marwa hadir di sing pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman
bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan
jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab
Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh
Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya
justru terkena tembakan petugas.
Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim,
peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional.
Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku
dijual!
Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di
Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi
di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton
sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen www.reformata.com, pada 20
September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP
Ciketing”.
Menyusul kasus Ciketing tersebut,
International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org)
juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di
Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing
strain in recent years, particularly where hardline Islamists and
Christian evangelicals compete for the same ground.”
Banyak orang Muslim terbengong-bengong dengan fenomena ketidakdilan
informasi yang menimpa mereka. Saat menemani Presiden Barack Obama
melihat-lihat Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub menyampaikan
titipan kaum Muslim Washington yang sudah tujuh tahun menunggu izin
pendirian Masjid. Padahal, tanah sudah tersedia. Izin sudah diajukan dan
belum kunjung keluar.
Masalahnya, yang jadi korban Muslim! Mungkin, oleh berbagai pihak,
kasus yang menimpa kaum Muslim dianggap bukan komoditas berita yang
menarik dan layak jual.
Kasus-kasus penyerangan tempat ibadah dan orang-orang Muslim di dunia
Barat sangat melimpah datanya. Kebencian terhadap Muslim meningkat
setelah peristiwa 11 September 2001. Berbagai laporan menunjukkan
terjadinya vandalisme di banyak masjid dan kuburan Muslim hampir di
seluruh Eropa. Pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan oleh politisi
Belanda Geert Wilders, juga tidak menjadi isu internasional tentang
pelecehan Islam.
Pada 12 Februari 2010, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ)
menyebarluaskan data perusakan gereja di Indonesia. Kata mereka, hingga
awal tahun 2010 telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak
dan ditutup. Berita ini tersebar ke seluruh dunia.
Fantastis! Ada 1200 gereja dirusak di Indonesia,
sebuah negeri Muslim terbesar di dunia! Wajar jika dari ekspose angka
itu akan muncul persepsi negatif terhadap Indonesia dan kaum Muslim.
Setidaknya, bisa muncul opini, betapa biadab dan tidak tolerannya orang
Muslim di Indonesia! Jika kasus satu gereja di Ciketing Bekasi saja
sampai ke telinga Hillary Clinton, bagaimana dengan kasus 1.200
perusakan gereja!
Sayang, tidak ada analisis komprehensif dan jujur mengapa dan jenis
kerusakan apa yang dialami gereja-gereja itu. Data Badan Litbang
Kementerian Agama menunjukkan, pertumbuhan gereja Protestan di Indonesia
pada periode 1977-2004, menunjukkkan angka yang fantastis, yakni
131,38 persen. Gereja Katolik lebih fantastis, 152 persen. Sedangkan
pertumbuhan rumah ibadah umat Islam meningkat 64,22 persen pada periode
yang sama.
Angka pertumbuhan gereja di Indonesia yang fantastis itu mestinya
juga diekspose oleh lembaga-lembaga Kristen ke dunia internasional, agar
laporan mereka lebih berimbang dan fair terhadap kondisi keberagamaan
di Indonesia! Itu jika ada keinginan untuk membangun Indonesia sebagai
rumah bersama, agar lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Dalam soal toleransi beragama, antara
opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang
dengan rekayasa semacam itu. Dunia Barat bepuluh tahun tertipu oleh
opini yang diciptakan kaum Zionis, bahwa negeri Palestina adalah tanah
kosong, tanpa penduduk. Bertahun-tahun banyak orang Barat percaya, bahwa
Israel adalah “David” sedangkan negara-negara Arab adalah “Goliath”.
Kini, banyak yang sudah terbuka matanya, apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam beberapa kali mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri,
antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di
Timtim itu kadangkala diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa
pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Mereka termakan oleh kampanye
Uskup Belo selama bertahun-tahun bahwa telah terjadi Islamisasi di
Timtim yang antara lain difasilitasi oleh ABRI.
Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim
dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian
Prof. Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan,
pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah
penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik
menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994,
umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di
bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal,
Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu
mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.
Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu,
Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia
yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim
berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.”
(Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan
Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).
Itu fakta. Tapi, opini di dunia internasional berbeda. Sejumlah kasus
Islamisasi di Timtim diangkat dan dibesar-besarkan sehingga
menenggelamkan gambar besar kondisi keagamaan di Timtim saat itu.
Ini kepiawaian mencipta opini! Perlu diacungi jempol. Tokoh agama
menjalankan fungsinya sebagai juru kampanye, bahwa umatnya tertindas,
terancam, dan perlu pertolongan dunia internasional. Dan, kampanye itu
menuai hasil yang mengagumkan! Dunia diminta percaya bahwa kaum Kristen
terancam dan tertindas di Indonesia; bahwa tidak ada toleransi, tidak
ada kebebasan beragama di negeri Muslim ini. Berbagai LSM di Indonesia
sibuk mengumumkan hasil penelitian bahwa kondisi kebebasan beragama di
Indonesia sangat buruk.
Cara eksploitasi kasus di luar batas proporsinya ini sangat merugikan
citra bangsa. Padahal, lihatlah fakta besarnya! Muslim Indonesia sudah
terbiasa dengan keberagaman dalam kehidupan beragama. Umat Muslim
terbiasa menerima pejabat-pejebat non-Muslim duduk di posisi-posisi
penting kenegaraan. Umat Muslim sangat biasa melihat tayangan-tayangan
acara agama lain di stasiun televisi nasional. Hari libur keagamaan pun
dibagi secara proporsional.
Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk
menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini.
Tengoklah, apakah kaumMuslim di sana bebas mengumandangkan azan,
sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja.
Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum
Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?
Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia
saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk
merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya.
Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah
seluruh aspek media massa.
Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia,
sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik
pencitraan, bahwa Indonesia dicitrakan sebagai sebuah negeri yang tidak
memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah
mereka adalahn umat yang tertindas dan teraniaya. Adanya kasus-kasus
tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga Indonesia
dicitrakan sebagai negeri yang tidak ada kebebasan beragama.
Tentu, adilnya, jika ingin menikmati kecantikan wajah seorang gadis,
lihatlah seluruh wajahnya! Jika hanya satu dua jerawat yang diteropong
dan dipelototi habis-habisan, maka wajah cantik itu akan hilang dari
pandangan mata!
Kaum Muslim pasti sangat mencintai negeri ini. Muslim pasti mencintai
toleransi, kerukunan, dan perdamaian. Hanya saja, tokoh Islam Indonesia
M. Natsir, pernah memohon: “…kalaulah ada suatu harta yang kami cintai
dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang
hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan
tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini!”
Kaum Muslim perlu terus mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai
kasus yang menimpa mereka. Juga, kaum Muslim, terutama para aktivis
dakwah, perlu terus meningkatkan kualitas dan kemampuan dakwahnya, agar
mereka tidak mudah dikelabui dan diperdayakan. Toleransi umat Islam
dinegeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat
yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu
baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan.
[hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Sumber: Hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)