TEORI AKAD DALAM FIKIH MUAMALAH-Akad (al-‘Aqd), yang dalam pengertian bahasa
Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan
sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah
ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama
manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai
mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan
universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiap masa.
1. Pengertian Akad (Kontrak)
Akad (al-‘Aqd) dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara
ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk
fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti
ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan
syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya
akad diselenggarakan . Pengertian ini bersifat lebih khusus karena
terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian
ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian
inilah yang paling luas dipakai oleh fuqahâ’ (para pakar fikih).
Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala
diinginkan orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak
sendiri (irâdah munfaridah), seperti: wakaf, perceraian dan sumpah atau
yang memerlukan dua kehendak (irâdatain) untuk mewujudkannya, seperti:
buyû’ (jual-beli), sewa-menyewa, wakâlah (perwakilan) dan rahn (gadai).
Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan
dengan akad yang dimengerti oleh fuqahâ’ dan hukum-hukum perdata
konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas
mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara
menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan
dua kehendak. Karena itu wilayah akad dalam pengertian umum jauh lebih
luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.
2. Rukun Akad
Dalam pengertian fuqahâ’ rukun adalah: asas, sendi atau tiang. Yaitu
Sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya (apabila
ditinggalkan) suatu pekerjaan tertentu dan sesuatu itu termasuk di dalam
pekerjaan itu.. Seperti ruku’ dan sujud merupakan sesuatu yang
menentukan sah atau tidaknya shalat; keduanya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari perbuatan “shalat”. Dalam mu’amalah, seperti: ijab dan
qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur
ulama rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad
seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan
(ma’qûd alaih) dan shighatul ‘aqd (bentuk [ucapan] akad) .
Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian
yang datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau
ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang
akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi
itu jual-beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli : “Saya jual buku
ini kepada anda” adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan.
Dalam transaksi jual-beli di sini, qabul adalah ucapan si pembeli kepada
si penjual: “Saya beli buku ini” sekalipun ucapan itu dikeluarkan di
depan. Jika ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama lain sementara
keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi
perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan akad atasnya
(dalam hal ini adalah buku yang dijual).
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu
sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status
kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah
uang sebagai harga dari buku itu.
Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan
mereka yang melakukan akad. Dalam fikih mu’amalah, ijab dan qabul ini
adalah komponen dari shighatul ‘aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang
menyelenggarakan akad atau âqidain (pemilik barang dan orang yang akan
dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan
hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam
setiap akad, shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan
indikator kerelaan dari âqidain. Pertanyaan yang kemudian muncul,
“bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan
shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga
dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan
apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad
semacam ini dan mereka menyebutnya ‘aqd bit ta’athi karena tradisi dan
kebiasaan hidup manusia (‘urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan
tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah
menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik
demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka
yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqahâ’ (madzhab Hanafi)
membolehkan tidak saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti
dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar
seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan
‘urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad.
Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu
pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.
Sekalipun pada umumnya para fuqahâ’ menyepakati akad bit ta’athi
dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk
kawin (zawâj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan
hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak
wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kesempurnaan dengan
menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.
3. Orang yang menyelenggarakan akad (âqidain)
Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau
penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya
mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz .
Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan
orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan
buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan
dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah
bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.
Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau
fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi
kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah
hambatan-hambatan demikian disebut ‘awâridh ahliyyah. Ada dua jenis
‘awâridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah.
Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak
orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak
manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur.
Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri
seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah hambatan samawiyah memiliki
dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini
tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak
memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang
terkena hambatan ini menjadi batal.
4. Barang dan Harganya (al-Ma’qûd ‘Alaih)
Barang dan harga dalam akad jual-beli disyaratkan sebagai berikut:
Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena
barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang
dijual-belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual-beli. Kedua,
barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara
syar’i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat
transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang
yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam. Barang yang dijual harus
dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual-beli yang tidak dapat
mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang
tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan
seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk
menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh
ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan
menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si
penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk
jangka waktu sekian.
Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai
lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu
perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan
atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli
dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah
dijualnya.
5. Jenis-jenis Akad
Ada banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan
memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara’ atau tidak;
dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang
kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.
a. Akad Sah dan Tidak Sah
Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau
tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad
sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan
rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi
yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik.
Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau
syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut
tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan
akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah atau daging babi.
Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi.
Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi
mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan
rusak (fâsid) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga
batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fâsid) dengan
batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi
tiga macam yaitu akad sah, fâsid dan batal.
Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar’i
terbagi menjadi dua yaitu batal dan fâsid (rusak) di mana dalam
pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak
sah berarti batal dan berarti fâsid. Yang batal adalah akad yang
rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya
tidak dibenarkan secara syar’i. Misalnya salah satu pihak kehilangan
kapabilitas seperti gila; atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau
barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara’ seperti jual-beli
miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama
dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada
yaitu dianggap tidak terjadi.
Adapun akad fâsid, pada prinsipnya dibenarkan secara syar’i tetapi
sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang
yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh
syara’ namun ada sifat yang dilarang oleh syara’ seperti menjual suatu
barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan
persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fâsid memiliki dampak
syar’i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun
akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan
transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya.
b. Dengan Melihat Penamaan
Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad
musamma dan ghairu musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi
nama tertentu oleh syara’ seperti jual-beli (buyû’), ijârah , syirkah ,
hibah, kafâlah , hawâlah , wakâlah , rahn (gadai) dan lain-lain.
Sedangkan akad ghairu musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam
syara’ demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini
terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik.
Jumlahnya pun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishnâ’ , baiul
wafâ’ dan bermacam-macam jenis syirkah (musyârakah) lain-lain.
c. Akad ‘Aini dan Ghairu ‘Aini
Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak
sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan
menjadi ‘aini dan ghairu ‘aini. Akad ‘Aini adalah akad yang
pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang
ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya
hibah , i’arah , wadiah , rahn dan qardh . Dalam akad-akad ini barang
yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk
menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan
kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal.
Sedangkan ghairu aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan
mengucapkan shighat akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang
kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat
digolongkan ke dalam akad ghairu ‘aini.
(Dinukil dan diselaraskan dari beberapa
sumber pada situs-situs internet dengan beberapa modifikasi, termasuk
tulisan dari Agustianto, utamanya dari http://www.media.isnet.org, untuk
kepentingan Kajian Islam di Majelis Ta’lim Ksatriyan, Wates, Kulon
Progo, Yogyakarta)
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)