Silahkan menolak fatwa, namun jika sudah melecehkan wibawa ulama, jelas itu melecehkan syiar Islam, ujar pakar syariah.
Hidayatullah.com –
Ungkapan mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta yang
dikutip media massa menyangkut fatwa rebonding terus mendapatkan
tanggapan.
Pakar hukum syariah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr
Muinudinillah, MA mengatakan, kritikan putri proklamator itu tidak
tepat dan bukan pada tempatnya. Menurut Muin, tugas ulama adalah
memberikan penjelasan atau fatwa tentang hal-hal yang berurusan dengan
ummat. Baik diminta atau tidak. Jika masyarakat umum, termasuk dirinya
(Meutia Hatta, red) tidak tahu kapasitas dan tugas ulama, sebaiknya diminta menjaga diri. “Janganlah berbicara tanpa ilmu,” ujarnya kepada hidayatullah.com.
Pakar hukum Syariah lulusan Riyad ini menjelaskan, masyarakat
sebaiknya mulai belajar menempatkan diri secara adil. Silahkan para ahli
berkomentar sesuai ahlinya dan sesuai posisi masing-masing. Jika keluar
dari koridor itu, bisa dianggap tak tahu diri.
“Seharusnya orang harus memahami posisi satu sama lainnya. Ulama ya
bicara tentang hukum, syariat Allah, karena dia yang menjadi rujukan
ilmu dalam hal ini,” kata Muin, dalam perbincangan dengan Hidayatullah.com, Rabu (20/01).
Lebih lanjut, Muin mengatakan, tugas ulama
adalah memberikan pencerahan, mengeluarkan fatwa, juga menjawab
pertanyaan ummat. Karena itu, pernyataan yang terkesan melecehkan
kapasitas tugas dan kelembagaan ulama adalah sudah termasuk melecehkan
syiar agama.
Menurut Muin, jika ada fatwa yang tidak diikuti, itu kembali ke
masing-masing pihak. Sebab urusannya sudah dengan Allah. Tapi kalau
sampai melecehkan ulama sikap terlarang dan haram.
“Jika sampai mengatakan kurang kerjaan, itu termasuk melecehkan syiar agama,” kata Muin.
“Terlepas dari fatwa itu (soal rebonding), kalau memang menganggap fatwanya tidak diterima, maka silahkan saja, ” lanjutnya.
Muin berpesan kepada kaum Muslim untuk mendudukkan ulama pada posisi
yang sudah ditentukan oleh Allah SWT dan tetap memberikan nasehat kepada
ulama ketika ada suatu kesalahan dengan penuh kesopanan dan kesantunan.
Sebagaimana dikutip sebuah media belum lama ini, mantan Menteri
Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, menyatakan, bahwa fatwa haram
rebonding adalah keputusan yang mengada-ada dan kurang kerjaan.
Menurut Meutia, seharusnya banyak hal-hal lain yang perlu dipikirkan
bersama selain mengelaurkan fatwa haram rebonding itu. Menurutnya,
nilai-nilai islam yang asli harusnya dijalani dengan baik, bukan dengan
mengharamkan hal-hal yang ada di tengah masyarakat.
Meutia menambahkan, rebonding itu dilakukan oleh semua orang. Bukan
hanya umat Islam saja. Karenanya kata dia, pelarangan itu terlalu
dibuat-buat.
Kasus fatwa muncul taktala lahirnya hasil rumusan saat pelaksanaan Bahtsul Masa`il
XII Forum Musyawarah Pondok pesantren Putri Se-Jawa Timur. Hasil
bahtsul masail itu diantaranya mengatakan, haramnya rebonding, foto
pre-wedding dan tukang ojeg wanita.
Sebagaimana diketahui, bahtsul masail adalah kegiatan pengkajian
masalah hukum Islam menyangkut masalah sehari-hari umat Islam yang sudah
biasa terjadi di kalangan pesantren. Dalam khasanah pesantren, bahtsul
masail sudah menjadi bagian dari basis intelektual warga NU, juga kaum
muslim lain.
Namun masalahnya menjadi lain ketika media membawa masalah ini dengan
meminta konfirmasi pada orang-orang yang sejak awal tak mengenal hukum
Islam. [ain/www.hidayatullah.com]
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)