KAIDAH
FIQHIYYAH TENTANG “NIAT
Siapa yang mengharapkan pahala
dunia pasti kami akan memberinya dari dunia dan siapa yang mengharap pahala
akhiraat kami akan memberinya dari padanya Sabda Nabi SAW : sesungguhnya amal
itu tergantung kepada niat dan sesungguhnya seseorang tergantung apa yang ia
niatkan
-
Siapa
yang berutang ia berniat untuk membayarnya maka Allah akan membayarnya pada
hari kiamat, dan siapa yang berutang ia berniat untuk tidak membayarnya
kemudian ia meninggal maka Allah berfirman ‘Sesungguhnya aku akan mengambil hak
hambaku kemudian diambil dari padanya (yang berutang) kebaikannya lalu di
berikan pada kebaikan yang lain, jika ia tidak mempunyai kebaikan di ambil dari
kejelekan yang lain lalu di bebankan kepadanya
-
Siapa
yang datang ke tempat tidurnya ia berniat untuk shalat kepada Allah, kemudian
matanya mengalahkan dia (tidur nyenyak) sampai pagi hari maka Allah
mencatat
baginya apa yang ia niatkan sedangkan tidurnya merupakan sadaqah dari tuhannya.
-
Niat
orang mu’min lebih baik dari pada amalnya. R Al-Tabrani. Hikam : Niat tanpa
amal lebih baik dari pada amal tanpa niat. Artinya : Urusan
itu tergantung kepada maksudnya
Contoh-contoh:
1. Wudhu, mandi, shalat, dan
shaum dan yang lainya mesti ada niat.
2.
Suatu pekerjaan yang halal bisa jadi haram karena niatnya. Seperti haramnya
seorang bercampur dengan istrinya, karena ia berniat untuk zinah
3.
Sesuatu yang mubah, bisa mendapat pahala karena niatnya, seperti makan, minum.
4. Memeras anggur haram tidaknya tergantung niat
5.Orang yang mengutangkan
mengambil barang orang yang berutang, tergantung niatnya; apakah memperingatkan
atau mencuri.
1.
Kinayah ( sindiran) kata thalaq ‘ (khaliyah=bebas) tergantung niat.
Artinya
: Dalam amal yang disyaratkan menyatakan / menghadapkan niat, maka
kekeliruan pernyataannya membatalkan amal. Contoh-contoh;
1.
Kesalahan dari shalat dhuhur kepada shalat ashar dan sebaliknya. Kalau shalat
dhuhur niat shalat ashar maka tidak sah
2.
Kesalahan dari kifarat dhihar kepada kifarat kothli
3.
Kesalahan dari rawathib dhuhur kepada rawathib ashar
4.
Kesalahan dari shalat idul fitri kepada shalat idul Adhha
5.
Kesalahan dari shalat dua rakaat ihram kepada dua rakaat thawaf
6.
Kesalahan dari shaum arafah kepada shaum asyura.
Apa
yang disyaratkan menghadapkan niat secara jumlah dan tidak disyaratkan
menentukannya secara rinci, jika ia menentukannya kemudia menyalahi maka
menjadi madharat. Contoh-contoh ;
1.
Seseorang berniat shalat mengikuti si zaed ternya si umar maka tidak sah
mengikutinya, kareana ia tidak ada niat mengikuti kepada si umar. Dengan
mengikuti kepada si Zaed dan ternya si Umar dengan tidak pakai niat. Maka dalam
shalat berjamaah tidak disyaratkan menentukan Imam tapi hanya niat shalat berjamaah
saja
2.
Seseorang menyolatkan mayit kepada si Bakar ternyata si Khalid, atau berniat
kepada perempuan ternyata laki-laki, maka tidak sah, maka dalam shalat mayit
tidak disyaratkan menentukan mayitnya kecuali hanya niat shalat mayit saja.
3.
Seseorang menshalatkan mayit. Maka dalam hal ini tidak perlu ditentukan jumlah
mayitnya. Kalau ia menentukan jumlahnya 10 orang misalnya ternyata lebih, Maka
Ia harus mengulangi shalatnya secara keseluruhan karena di antara mereka ada
yang belum di shalatkan, sementara mereka itu tidak jelas
4.
Tidak perlu seseorang menetukan jumlah rakaat dalam shalat, kalau Ia niat
shalat dhuhur lima rakaat atau tiga maka tidak sah
5.
Seseorang menetukan zakat hartanya yang masih ghaib yang belum hadir di
hadapannya. Maka tidak boleh.
Apa
yang tidak disyaratkan menghadapkan niat secara jumlah dan tidak disyaratkan
untuk merincinya, jika ia menentukannya dan menyalahi maka tidak menjadi
madharat
Contoh-contoh
:
1.
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat, maka kalau ia berniat shalat dhuhur
di Mesir ternyata di Mekah maka tidak batal shalatnya karena niatnya masih ada,
sedang menentukan tempat tidak ada hubungan dengan niat shalat
2.
Kesalahan dalam menentukan waktu shalat, kalau niat shalat ashar hari kamis
ternyata hari jumat maka tidak batal shalatnya
3.
Kesalahan Imam menetukan orang yang shalat dibelakangnya, kalau berniat
mengimami si Zaid ternyata si Umar maka tidak madharat karena tidak disyaratkan
kepada Imam menentukan mamum dan tidak niat mengimami
Maksud
–maksud lafadh tergantung kepada niat orang yang melafadhkan Contoh-contoh:
1.
Kalau nama istrinya Thaliq dan nama hamba perempuannya Hurrah, lalu Ia berkata
Wahai Thaliq atau Wahai Hurrah. Kalau ia bermaksud mentalaq atau membebaskan
maka jatuh talaq dan bebas atau hanya bermaksud memanggil maka tidak jatuh
talaq dan tidak bebas.
2.
Kalau seseorang membaca dalam shalat bacaan Alquran, dan tidak bermaksud yang
lain maka sah bacaannya. Dan jika bermaksud memberi pemahaman kepada yang lain
maka batal. Dan jika memuthlakan, menurut pendapat yang sah maka jadi batal.
3. Jika seseorang
mengkaitkan niat kepada kata ‘insyaAllah’, kalau ia bermaksud menggantungkan
niatnya maka batal, jika tabaruk(mengharapkan berkah) maka tidak, jika ia
memutlakan maka batal.
Referensi:
Abdul
Hamid Hakim, Mubadi Awalliyah, Maktabah Sa’adiyah Puttra Jakarta, 1929
Abdul
Hamid Hakim, As-Sulam, Maktabah Sa’adiyah Puttra Jakarta, 1929
Mukhtar
Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Al-Ma’arif,1986
Abdul
Mujib, Al-Qowa’-Idul Fiqhiyyah, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1984
Utsman M, Qaidah-qaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Raja
Grafindo Persada 1996
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)