كل تفسير ليس ماخوذا من دلالة ألفاظ الآية وسياقها فهو رد على قائله
“Setiap tafsir yang tidak
diambilkan dari dilalah lafadz ayat (petunjuk ayat) dan konteksnya; maka
tertolak dengan sendirinya”
•
Kaidah ini berlandaskan pada QS. Al-Maidah ayat
41 dan QS. Fushilat, ayat 40. kedua ayat ini menegaskan bahwa, sebuah
penafsiran yang dipengaruhi unsur subyektifitas (hawa nafsu atau kepentingan
pribadi) maka, tidak dapat dibenarkan bahkan termasuk kategori ilhad (menentang
agama).
•
Contoh nya QS. At-Tin ayat 1-4: وَالتِّينِ
وَالزَّيْتُونِ وَطُورِ سِينِينَ وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِين. Bagi kelompok batiniyyah ayat pertama
dipahami sebagai Rasul saw dan amirul mukminin, ayat dua adalah hasan Husain,
ayat 3 sebagai para imam mereka.
•
Begitu pula pena’wilan atas nama pembaharuan
(modernitas), atau atas nama ilmu pengetahuan (scientific). Seperti ketika memahami QS. Al-Anbiya
ayat 79:وَسَخَّرْنَا مَعَ
دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ kata الطَّيْرَ
sebagai tiap sesuatu yang mempunyai sayap termasuk pesawat.
Penafsiran semacam ini tentu
sangat memaksakan kalau tidak dikatakan terlalu jauh dari makna yang
dikehendaki al-Qur’an, sehingga tidak mengherankan jika Dr. Muhamad Husain
Adz-dzahabi mengatakan bahwa penafsiran
semacam ini sangat jelas keluar dari teks dan termasuk ilhad.
Tulisan ini disadur dan
disampaikan dalam perkuliahan Qawaid Tafsir di Pondok Shabran oleh Dr. Hasan el-Qudsy, M.A., M.Ed.
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)