Oleh: HARUN YAHYA
Salah satu
sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
Jadilah pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang
yang bodoh. (QS. Al Qur’an, 7:199)
Dalam ayat lain
Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang
tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain.
Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal,
Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:
... dan jika
kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Juga dinyatakan
dalam Al Qur'an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi
barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk
perbuatan yang mulia." (Qur'an 42:43) Berlandaskan hal tersebut, kaum
beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang
dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, "...menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
(Para peneliti
percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh
sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keeping-keping darah,
yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang
terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi
batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh
karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung.)
Pemahaman
orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang
tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin
berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu
waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka.
Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap
memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia
diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada
dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan
walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka
tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat
menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa
segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir
tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak
pernah terbelenggu oleh amarah.
Menurut
penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu
memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti
menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang
menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar
memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga
jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian,
gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress
[tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada
orang-orang ini.
(Memaafkan,
adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan sebuah sikap
mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang)
Dalam bukunya, Forgive
for Good [Maafkanlah demi Kebaikan], Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat
pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku
tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik
dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi
kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan
yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri
seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:
Permasalahan tentang
kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah
melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda
terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari
seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang
membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir
jernih – memperburuk keadaan.
Sebuah tulisan
berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing
Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan
September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau
suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak
keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga
menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu
mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan.
Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa,
meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan
waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan
lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.
Semua
penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran
yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa
berat, terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang
menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut
menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan
sebenarnya dari memaafkan –sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk
mendapatkan ridha Allah. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini, dan
bahwa manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak
ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya.
Sumber: info@harunyahya.com
0 komentar:
Posting Komentar
thank you for your comment (شكرا)